Sumut Tidak Punya Data Penerima Jamkesmas

Oleh: Iqbal Nasution.
Miris kita membaca berita di Harian Analisa pada September 2012, seorang pasien Diana warga Jalan Mantri Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun yang dirawat di rumah sakit Mitra Sejati. Walaupun kondisi kesehatannya dan bayinya layak pulang, namun ia tertahan karena tidak bisa membayar uang yang dipungut oknum dokter rumah sakit tersebut.
Oknum dokter itu, melegalkan Diana dirawat memakai kartu Jamkesmas milik kakaknya, Fadillah untuk bersalin, asalkan memberikan uang dengan seikhlas hati, padahal korban merupakan peserta Jamkesmas, namun kartunya hilang saat banjir besar tahun 2011 sehingga ia terpaksa memakai kartu Jamkesmas milik kakaknya. Atas dasar itu, pasien operasi caesar ini diperbolehkan bersalin di rumah sakit tersebut.

Pihak keluarga memenuhi permintaan itu, dengan memberikan uang sebesar Rp 300 ribu, namun sang dokter menolak dan menetapkan biaya Rp1 juta kepada pasien, karena tak mampu menebus biaya yang ditentukan, akhirnya Diana didaftarkan sebagai pasien umum, sehingga dia harus membayar Rp3,5 juta. Dalam database Jamkesmas PT Askes (Persero) Medan, Diana terdaftar sebagai peserta Jamkesmas dengan kartu nomor 0000341457311.

Dengan begitu, sebenarnya, Diana seharusnya gratis mendapat pelayanan kesehatan. Apalgi sejak ditinggalkan suaminya, dia harus membesarkan tiga anak seorang diri, padahal mengenai kartunya yang hilang, sesuai pedoman pelaksana Jamkesmas (Manlak), pasien bisa meminta surat keabsahannya ke PT Askes, sehingga tidak harus dilegalkan dengan menggunakan kartu Jamkesmas orang lain.

Kasus yang sama juga dialami Riska (14) warga Jalan Bukit Mas Lingkungan VI, Kelurahan Perdamaian, Stabat, Langkat. Untuk delapan kantong darah pasien jamkesmas yang dirawat di RS Bandung Medan ini, dipungut biaya, sehingga bisa dikategorikan melanggar perbuatan pidana dan perdata.

Itu hanya dua kasus dari sekian kasus yang terjadi selama ini. Faktanya, tidak semua masyarakat miskin bisa mendapatkannya walaupun sudah dianggarkan oleh pemerintah. Jamkesmas belum merata dinikmati masyarakat dan tidak tepat sasaran.

“Sejak awal saya diangkat menjadi anggota DPRD Sumut dan menduduki Ketua Komisi E DPRD Sumut persoalan Jamkesmas mulai dibicarakan. Sampai sekarang persoalan Jamkesmas di Provinsi Sumut masih tetap ada. Persoalan Jamkesmas saya lihat dari distribusi kartu Jamkesmas. Sampai saat ini tidak diketahui data penerima kartu Jamkesma di Sumut. Misalnya siapa namanya, alamatnya,” ungkap Anggora Komisi E DPRD Sumut, Brilian Moktar.

Dikatakannya, upaya untuk mendapatkan data penerima kartu Jamkesmas di Sumut sudah dilakukan. Tetap saja Dinas Kesehatan Sumut selalu berjanji akan memberikan data tersebut. Sampai hari ini data yang dijanjikan tidak pernah dipenuhi.

Brilian melihat, tidak ada data penerima kartu Jamkesmas menjadi persoalan di Sumut. Bila penerima kartu Jamkesmas diketahui di Sumut akan lebih memudahkan untuk mengetahui layak atau tidak layak yang menerima. Tidak hanya itu. Dengan adanya data yang jelas penerima Jamkesmas dapat diketahui masyarakat yang tidak menerima Jamkesmas. Bagi masyarakat yang tidak menerima Jamkesmas padahal masyarakat tersebut layak mendapatkan kartu berobat gratis dapat memperoleh pengobatan gartis melalui Jamkesda. Bukan tidak mungkin, carut marut data penerima Jamkesmas ada masyarakat yang mendapatkan kartu Jamkesmas atau JKMS atau sejenisnya. Jika ini terjadi, jelas sangat disayangkan. Satu sisi ada masyarakat yang berhak mendapatkan kartu berobat secara gratis, mendapatkan secara berlebihan. Di satu sisi ada masyarakat yang berhak tidak mendapatkan kartu berobat secara gratis. Begitu juga bukan tidak mungkin ada masyarakat yang tergolong mampu mendapatkan kartu berobat gratis misalnya Jamkesmas.

“Terus terang saya sangat cemburu dengan Provinsi Jawa Timur dan Tengah. Provinsi tersebut memiliki data yang lengkap masyarakat yang menerima Jamkesmas. Tidak hanya itu di Jawa Timur pmerintah provinsi menganggarkan dana 175 miliar untuk biaya kesehatan yang tidak mendapatkan Jamkesmas. Berbeda dengan Provinsi Sumut hanya menganggarkan dana talangan sebesar 50 miliar untuk Jamkesda. Angka ini sudah mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2010 lalu yang hanya 7,5 miliar. Sedangkan keseriusan pemerintah daerah menganggarkan dana kesehatan masih sangat minim. Hanya pemerintah Kota Medan yang mengganggarkan dana kesehatan sebesar 35 miliar melalui JKMS. Selebihnya masih sangat kecil dan tidak semua yang menyediakan anggaran kesehatan. Dari 33 kabupaten kota di Sumut diperkirakan hanya 20 kabupaten kota yang menyediakan anggaran kesehatan.

Carut marut distribusi kartu Jamkesmas juga diakui Kepala Divisi Advokasi Pasien Miskin Lembaga Kesehatan Rakyat (LKESRA), Rizaldi Manaf. Dia menyebutkan, dari sejumlah kasus yang muncul masih minimnya pengawasan program dari panitia Jamkesmas. Kemudian, masih banyak rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas lengkap, sehingga pasien sering dirujuk ke rumah sakit lain dan dipungut biaya karena kurangnya peralatan medis. Selain itu, kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap program kesehatan ini karena tidak ada sosialisasi menyebabkan masyarakat miskin mudah untuk dibohongi pihak rumah sakit.

Selanjutnya, distribusi jamkesmas yang tidak tepat sasaran, disebabkan kesalahan dalam pendataan yang dilakukan pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS). Sebenarnya, kalau kartu Jamkesmas didistribusikan transparan sampai kepemiliknya, maka seluruh masyarakat miskin sudah teratasi.

Hal itu, terbukti kuota peserta Jamkesmas untuk Kota Medan ada penambahan sekira 400 ribu lebih ditambah kuota Medan Sehat tahun 2010 sebanyak 500 ribu lebih. Dengan demikian, setengah dari jumlah penduduk Medan sebanyak dua juta lebih, bisa terakomodir, sehingga ada orang kaya yang mendapatkan fasilitas Jamkesmas.

Ia menegaskan, LKESRA tetap memperjuangkan dan menuntut kesehatan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang strata sosial. “Kalau orang kaya saja bisa dapat kesehatan gratis, harusnya seluruh masyarakat miskin di Medan khususnya, sudah terjamin kesehatan mereka”, tandas Rizaldi Manaf.

Januari 2014

Rencananya Januari 2014 BPJS mulai dilaksanakan. Artinya setiap masyarakat Indonesia baik yang mampu maupun tidak berhak mendapatkan pengobatan di rumah sakit di kelas tiga secara gratis. Bila selama ini masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan kartu berobat gratis yang dikeluarkan pemerintah, seperti Jamkesmas. Dengan diberlakukan BPJS masyarakat yang selama ini memiliki kartu Jamkesmas atau tidak sama-sama berhak mendapatkan pengobatan gratis di rumah sakit di kelas tiga.

Kebijakan pemerintah yang memberikan perlindungan kesehatan melalui berobat gratis untuk semua masyarakat Indonesia boleh jadi sebuah kabar gembira. Tidak dapat dipungkiri, selama program Jamkesmas diluncur pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan RI, muncul berbagai persoalan. Banyak masyarakat yang seharusnya berhak mendapatkan Jamkesmas (masyarakat miskin) tidak mendapatkan Jamkesmas. Carut marut pemberiaan Jamkesmas di Provinsi Sumut sudah terjadi sejak awal dilaksanakan pembagian Jamkesmas. Meski hanya menyisahkan satu tahun lagi program BPJS dilaksanakan, bukan berarti persoalan Jamkesmas diabaikan. Selama waktu satu tahun bukan waktu satu atau dua jam. Selama setahun, masih banyak masyarakat yang membutuhkan biaya pengobatan gratis. Bukan tidak mungkin berbagai persoalan yang sama kembali muncul.

Brilian mengingatkan, persoalan kesehatan bukan memberikan pengobatan gratis. Harus diakui, anggaran yang disediakan pemerintah untuk pengobatan gratis sangat besar. Selama tidak ada upaya pencegahan persoalan kesehatan yang dilakukan pemerintah, biaya kesehatan terus bertambah besar. Harusnya pemerintah selain memberikan pengobatan gratis, juga terus mengkampanyekan hidup sehat sehingga biaya pengobatan dapat ditekan sekecil mungkin.

Dia sangat menyayangkan, peran Puskesmas sebagai ujung tombak kesehatan kepada masyarakat tidak berjalan efektif. Berapa banyak kerugian yang diderita masyarakat dan negara hanya karena kurangnya kampanye hidup sehat. Misalnya persoalan sanitasi, kerugian yang diderita mencapai miliaran rupiah. Harusnya Puskesmas lebih berperan aktif mensosialisasikan hidup sehat kepada masyarakat. Puskesmas harusnya sebagai pintu pertama dalam pencegahan penyakit. Sayangnya, peran Puskesmas juga sudah diabaikan masyarakat. Ketika sakit, masyarakat lebih memilih pergi ke rumah sakit atai praktek dokter daripada Puskesmas. Padahal sekarang ini Puskesma sudah ada buka 24 jam, memiliki rawat inap.

“Dana sosialisasi harus lebih ditingkatkan. Jangan dana sosialisasi dipergunakan untuk melaksanakan seminar yang kurang memberikan manfaat. Pemerintah melalui petugas aktif mengkampanyekan hidup sehat di berbagai tempat, seperti di sekolah, dunia kerja, pasar dan sebagainya. Pendidikan hidup sehat ini sangat penting dilakukan. Semakin besar kesadaran masyarakat hidup sehat, biaya kesehatan berupa pengobatandapat ditekan sekecil mungkin,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *