Penerbangan Jangan Hambat Pembangunan Kota
Oleh: Iqbal Nasution. Beberapa tahun lalu, reputasi industri penerbangan di Indonesia sempat terpuruk. Pesawat-pesawat terbang milik maskapai penerbangan dilarang mendarat di sejumlah negara Eropa dan Amerika.
Kini, industri penerbangan di Indonesia mulai bangkit kembali. Ironisnya, penerbangan yang merupakan kesatuan sistem dari pemanfaatan wailayah udara, pesawat terbang, bandara, navigasi, keselamatan dan keamanan serta fasilitas penunjang lainnya, belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah daerah, khususnya Sumatera Utara.
Hal ini, seperti yang diungkapkan anggota DPRD Sumut, Brilian Moktar, SE, MM di sela-sela hiruk pikuknya kenderaan yang melintas di Jalan Letda Sujono Medan. Meski malam kian larut, namun pria kelahiran Jambi pada 30 Maret 1966 ini, tetap meluangkan waktunya bagi pemburu berita.
Menurut pria bertubuh tegap dan tinggi ini, industri penerbangan di Sumut hampir dikatakan ‘nol’. Sebelumnya pada masa gubernur Sumut, T.H. Rizal Nurdin masih ada penerbangan Sutra yang bekerjasama dengan maskapai penerbangan Merpati. Sekarang ini, untuk penerbangan lokal, seperti Medan-Silangit dan Medan-Nias saat ini sudah tidak ada lagi.
Sebenarnya, Sumut dengan jumlah penduduk dan pulau-pulau yang dilaluinya, Gubsu harus bisa bekerja sama dengan para kepala daerah untuk menghidupkan industri penerbangan. Sekarang yang terjadi, seluruh industri penerbangan dikuasi oleh pemerintah pusat, termasuk penerbangan pendek, seperti Susi Air.
“Tidak ada pemain lokal. Dulu sempat ada pemain lokal, namun kini sudah tutup. Saya enggak tahu dengan potensi yang begitu besar, namun kenapa orang tidak melirik itu,” keluh Wakil Ketua Bidang PORA DPD PDI Perjuangan Sumut ini.
Penerbangan Medan-Silangit sebagai perintis yang disubsidi oleh Pemkab Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara (Taput) dan Pemerintah Provinsi Sumut (Pemprovsu), begitu sudah profit, tapi dibuat over line. Seharusnya, bagaimana beberapa pemerintahan kabupaten/kota memikirkan satu penerbangan atau menghidupkan kembali Sutra.
Untuk penerbangan Medan, Sibolga, Nias, Mandailing Natal (Madina) dan Silangit itu pasti ada. Sejak dulu, kita ingin meningkatkan sektor pariwisata Danau Toba, agar dibuka penerbangan dari Medan ke Samosir langsung. Sebelumnya, yang sempat ada penerbangan Susi Air, tapi kini sudah tak ada lagi.
“Industri penerbangan sangat penting di Sumut. Untuk itu, saya minta Gubsu, Gatot Pujo Nugroho dalam rangka hari penerbangan ini, agar bisa menghidupkan kembali penerbangan lokal. Mungkin harus diatur dan ditata dengan baik, karena saat ini, kita sudah punya bank Badan Usaha Milik daerah (BUMD), perkebunan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi, lalu mari kita bentuk penerbangan lokal,” ungkap Bendahara Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumatera Utara ini.
Untuk itu, penerbangan lokal harus dibuka dengan mendirikan satu BUMD baru, guna melayani penerbangan-penerbangan jarak pendek. Hal ini, diyakini bisa menghasilkan keuntungan, karena pada saat-saat tertentu, harga tiket pesawat terbang rute penerbangan Medan-Nias, bisa melambung tinggi.
“Semula yang ongkosnya, rata Rp. 400 ribu hingga Rp. 500 ribu, namun pada saat tertentu bisa mencapai Rp. 1.800.000,-. Hal itu yang perlu diperbaiki kembali,” ucap Penasehat Wushu Kota Medan ini.
Selanjutnya, dengan pindahnya Bandara Polonia Medan ke Bandara Kuala Namu, namun peraturan tetap tidak berubah. Dulu, tujuan dipindahkannya bandara itu, agar pembangunan di Kota Medan bisa lebih baik.
Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia, harusnya memiliki satu ikon. Ikon ‘Tanah Deli’ hingga saat ini, masih gedung PDAM Tirtanadi. Hal itu pun, peninggalan zaman penajajahan Belanda.
Seharusnya dengan perpindahan itu, pembangunan dan perkembangan di Kota Medan tidak terganggu lagi, karena jaraknya puluhan kilometer dari inti kota. Nyatanya beberapa investor yang ingin membangun gedung-gedung ‘pencakar langit’, tapi dilarang.
Gubsu harus mengambil satu keputusan yang bisa dikomunikasikan dengan Kementerian Perhubungan dan TNI-AU, dalam rangka perpindahan bandara dan momentum penerbangan ini, agara tidak mengganggu perkembangan dan pembangunan Kota Medan.
“Penerbangan kita pulihkan, tapi dengan adanya penerbangan tidak menghambat pembangunan kota. Medan butuh ikon. Apalagi kita punya sepertiga belahan yang ada di Kota Medan itu, harus ada taman kota,” katanya.
Kemudian, peningkatakan sektor penerbangan ini, tidak diikuti serta-merta dengan dunia pendidikan. Memang sekarang ini, sudah dibuka sekolah teknik menengah (STM) penerbangan dan Akademi Teknik dan Keselamatan penerbangan di Medan, tapi pendidikan untuk pramugari.
“Pendidikan tidak mendorong atau diikut sertakan dalam industri penerbangan. Sumut yang begitu besar, seharusnya ada sekolah bagi pilot pesawat terbang,” cetusnya.
Pada negara-negara lain, seperti Republik Rakyat Cina (RRC), hampir di setiap provinsinya memiliki industri penerbangan lokal, bahkan mereka sudah malayani penerbangan luar negeri. Selain itu, Singapura yang merupakan negara begitu kecil juga sudah memiliki beberapa maskapai penerbangan.
Gubsu jangan hanya bisa memberi izin dan rekomendasi untuk orang lain, tapi seharusnya kita bisa menggarap sendiri, padahal kita juga memiliki kemampuan untuk mengambil pasar ini. Hal inilah, salah satu ciri gubernur yang tidak memiliki wirausaha. Keberadaan gubernur bukan hanya pemerintahan saja, tapi juga harus memikirkan untuk meningkatkan pendapatan daerah dengan sumber daya yang ada di Sumut, tandas bapak dari tiga anak ini.