P2TL, Cara Cepat Menjadi Kaya

Oleh : Brilian Moktar, SE, MM.
Dahsyat, sadis, dan luar biasa. Mungkin, itulah penilaian saya
terhadap kegiatan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) yang dilaksanakan petugas yang dikirim PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara.

Dahsyat karena PLN mampu memanfaatkan aturan yang ada untuk memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang kelistrikan sebagai alasan dalam melakukan penertiban.

Sadis karena petugas P2TL tersebut memberikan sanksi tanpa melalui proses pembuktian, pengadilan, atau segala proses yang dibutuhkan untuk menunjukkan adanya kesalahan masyarakat.

Sedangkan kesan luar biasa muncul karena dari sekian lama keluhan masyarakat muncul atas dugaan kesewenang-wenangan petugas P2TL, tetapi tidak ada tindakan hukum yang dilakukan instansi terkait. Seakan-akan Indonesia sudah tidak aspiratif lagi dengan jeritan rakyat.

Hakikatnya Setuju

Kegiatan P2TL dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direksi PLN Nomor 234.K tahun 2008 dan Peraturan Menteri ESDM 04 tahun 2009.Tujuannya adalah untuk menertibkan pemakaian tenaga listrik dan mengurangi pencurian arus listrik yang selama ini merugikan negara.

Dari pertimbangan luhur itu, sebagai wakil rakyat, saya sangat setuju, malah mendukung 100 persen agar negara tidak dirugikan dan masalah krisis listrik yang sering dikeluhkan masyarakat dapat dikurangi. Namun sayangnya, nilai luhur yang terkandung dalam SK Direksi PLN dan Peraturan Menteri ESDM itu tidak seindah praktik di lapangan sehingga muncul berbagai jeritan rakyat sebagaimana terungkap dalam pengaduan yang diterima Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut.

Kenapa bisa demikian? Itu semua disebabkan petugas P2TL yang memeriksa instalasi listrik di rumah masyarakat telah bertindak melebihi aparat hukum, bahkan dinilai sangat “perkasa” dan “super bodi” melebihi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Keperkasaan petugas P2TL dapat dilihat dari proses pemeriksaan yang dilakukan instansi berwenang, termasuk RT/RW atau aparatur desa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (5) huruf d SK Direksi PLN Nomor 234.K tahun 2008 yang berbunyi “Bila pelaksana P2TL tidak disertai penyidik dan atau pemakain tenaga listrik tidak bersedia menandatangani formulir dan berita acara, maka penandatanganannya dimintakan Ketua RT/RW, aparat desa, atau pemuka masyarakat”.

Tanpa alasan yang diketahui masyarakat dan tidak disaksikan pejabat berwenang, petugas P2TL di Sumut sering menyatakan seseorang bersalah, baik dalam dugaan penggunaan arus listrik secara ilegal mau pun tuduhan telah merusakan segel berbagai instalasi listrik yang terpasang.

Dengan tuduhan tersebut, masyarakat yang menjadi target P2TL diwajibkan untuk membayar denda dalam jumlah yang bervariasi, mulai jutaan, puluhan juta, ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Sebagai pengguna listrik, masyarakat yang menjadi target P2TL tersebut tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk membela diri karena hanya diberikan pilihan membayar denda yang ditentukan atau instalasi listriknya diputus.

Petugas P2TL itu merangkap fungsi polisi, jaksa, panitera, hakim sekaligus eksekutor ketika melakukan kegiatannya. Luar biasa, padahal untuk kasus pidana saja, masyarakat masih mendapatkan kesempatan untuk membela diri melalui persidangan terbuka.

Padahal, sangat kecil kemungkinan masyarakat mengutak-atik instalasi listrik yang berada di luar rumah. Jangankan untuk mengutak-atik untuk mencuri listrik, menyentuh instalasi listrik saja mereka takut karena khawatir kesetrum.

Lucunya, ketika melakukan kegiatan pemeriksaan itu, petugas P2TL sering meminta pendampingan dari personel polisi yang bukan berstatus sebagai penyidik atau anggota TNI. Mungkin karena takut disebabkan kegiatannya melanggar aturan atau pertimbangan lain.

Lebih lucunya lagi, personel kepolisian tersebut hanya berperan sebagai pengawal petugas P2TL tetapi tidak dilibatkan sama sekali dalam penyidikan pelanggaran yang dituduhkan kepada masyarakat.

Fenomena itu menjadi pertanyaan untuk saya, apakah petugas P2TL hanya menganggap personil kepolisian hanya sebagai “bodyguard” untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak tidak melawan ketika dinyatakan bersalah dan dijatuhi denda yang diinginkan petugas P2TL.

Kemudian, apakah petugas P2TL itu juga ingin melibatkan institusi kepolisian dalam tindakan yang dilakukannya sehingga harus ikut bertanggung jawab dengan menjadi tergugat atau tersangka jika operasi penertiban yang dilakukannya digugat secara hukum.

Perlu Audit

Dari pengkajian dan analisa yang dilakukan terhadap kegiatan P2TL selama ini, saya akan mengajukan surat ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sumatera Utara untuk mengaudit penyelenggaran P2TL, termasuk dana yang ditarik dari masyarakat selama ini.

Berdasarkan pengkajian yang dilakukan itu, banyak sekali indikasi jika kegiatan P2TL tersebut menjadi ajang dugaan korupsi atau alat bagi oknum PLN Sumatera Utara untuk memperkaya diri sendiri.

Indikasi pertama dapat dilihat dari pernyataan pejabat PLN Wilayah Sumatera Utara dalam beberapa surat kabar beberapa bulan lalu yang menyebutkan telah berhasil mengumpulkan denda sebesar Rp37 milyar dari kegiatan P2TL.

Padahal dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Sumatera Utara pada 16 Februari 2012 yang dihadiri Direktur Konsruksi PLN Nasri Sebayang dan Direktur dan Direktur Operasi PLN Indonesia Barat Harry Jaya Pahlawan, GM PLN Wilayah Sumatera Utara Krisna Simbaputra menyebutkan telah melakukan penertiban terhadap 14.706 pelanggan PLN selama tahun 2011.

Dari jumlah target P2TL pada 2011 tersebut, seluruh pelanggan yang menjadi target P2TL itu dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran atau pencurian arus listrik.

Di satu sisi, PLN Wilayah Sumatera Utara perlu diberi apresiasi atas keberhasilannya dalam menemukan praktik pencurian arus listrik sehingga dapat menyelamatkan arus listrik yang merupakan aset negara.

Namun di sisi lain, laporan P2TL itu menjadi tanda tanya besar karena dana yang disetorkan tersebut dinilai terlalu kecil jika dibandingkan dengan target dalam kegiatan P2TL. Kita juga menemukan ada denda disetorkan kerekening pribadi pegawai PLN.

Dari sekian banyak pengaduan yang ditangani Posko P2TL Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumatera Utara, sangat sedikit pelanggan PLN yang menjadi target P2TL yang dikenakan denda di bawah Rp5 juta.

Malah, tidak sedikit pelanggan PLN yang menjadi target P2TL tersebut yang dijatuhi denda hingga puluhan, ratusan juta, bahkan milyaran rupiah seperti yang dialami PT. Sari Tani Jaya yang berlokasi di Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang yang dikenakan denda Rp.3,229 milyar.

Kalau seluruh pelanggan PLN yang dianggap bersalah dikira rata kena denda Rp.10 juta saja, berarti dana P2TL yang mampu dikumpulkan PLN Wilayah Sumatera Utara mencapai Rp.147.060.000.000 (seratus empat puluh tujuh milyar enam puluh juta rupiah).

Kalau dendanya diperkecil dan atau dianggap Rp.5 juta saja untuk setiap pelanggan, berarti dana yang dikumpulkan dari kegiatan P2TL itu sebesar Rp.73.530.000.000 (tujuh puluh tiga milyar lima ratus tiga juta rupiah).

Kalau begitu, kenapa PLN Wilayah Sumatera Utara hanya setor Rp37 milyar ke negara. Lalu, dikemanakan dana yang lain. Itu yang perlu diaudit BPK dan BPKP. Demi keadilan dan penegakan hukum, Poldasu dan Kejatisu juga harus turun tangan. Indikasi Rekayasa.

Sebagai Koordinator Posko PDI Perjuangan DPRD Sumatera Utara yang menerima berbagai pengaduan korban tim P2TL, saya melihat adanya indikasi rekayasa dalam menetapkan kesalahan masyarakat sebagai pelaku pencurian arus listrik.

Jika diteliti lebih mendalam, kegiatan P2TL di Sumatera Utara memiliki kesamaan modus dalam penggelapan pajak di Jakarta yang menjadi sorotan hangat media beberapa waktu lalu. Sayangnya, sorotan media itu pupus karena munculnya rencana kenaikan harga BBM.

Jika di Jakarta, petugas pajak diduga menakuti wajib pajak dengan berbagai ketentuan yang harus diselesaikan dan disinyalir berujung dengan “kerja sama” untuk saling menguntungkan.

Di Sumatera Utara, pola seperti itu diduga dilakukan oknum petugas P2TL dengan menuduh masyarakat melakukan pelanggaran atau pencurian arus listrik dan menetapkan denda puluhan dan ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Indikasi itu muncul karena sebagai Koordinator Posko P2TL, saya menerima penengaduan masyarakat tentang petugas P2TL yang memberikan rekening pribadi untuk pembayaran denda yang ditetapkan di lapangan.

Lalu, untuk apa rekening pribadi kalau bukan untuk dimanfaatkan sendiri. Indikasi lain dari adanya rekayasa itu dapat dilihat dari kegiatanrekonstruksi dan uji lapangan yang dilakukan tim Subdit 4 Ditreskrim Umum Poldasu di PT. Sari Tani Jaya yang tidak menemukan adanya praktek pencurian listrik.

Tim Poldasu itu hanya menemukan adanya kerusakan instalasi listrikkarena pengaruh alam disebabkan berada di luar rumah sehingga mengalami proses aur.

Hasil rekonstruksi serupa juga didapatkan Poldasu ketika menurunkan tim lagi dari Ditreskrim Khusus yang sama sekali tidak menemukan indikasi pencurian arus listrik kecuali kerusakan instalasi disebabkan pengaruh alam.

Bahkan, salah seorang tim P2TL yang memutuskan aliran listrik di PT. Sari Tani Jaya mengaku jika perusahaan yang memproduksi tapioka itu tidak melakukan pencurian arus listrik.

Lalu, kena oknum petinggi PLN Wilayah Sumatera Utara menetapkan denda hingga Rp.3,229 miliar?. Apakah pola serupa juga dilakukan untuk korban P2TL lainnya? Kalau begitu, sangat layak jika kegiatan P2TL disebut sebagai cara cepat menjadi kaya.

Penulis adalah Bendahara Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *