Nasib Pendidikan Sumatera Utara

Oleh: Brilian Moktar, SE, MM. Sedih, kesal, prihatin, sekaligus heran. Perasaan yang bercampuraduk melihat kondisi pendidikan di Sumatera Utara dibawah kepemimpinan Gubsu Gatot Pujo Nugroho.

Seluruh perasaan itu muncul karena program pendidikan di Sumatera Utara telah “dianaktirikan”, meski selalu dijadikan alat untuk menarik simpati masyarakat, terutama dalam pemilukada.

Rasa sedih, kesal, prihatin, sekaligus heran muncul karena Pemprovsu kurang memberikan perhatian serius, terutama dalam pengalokasian anggaran pendidikan.

Secara normatif, pendidikan yang layak dan berkualitas adalah hak setiap warga negara, termasuk masyarakat miskin di Sumatera Utara, sebagai manfaat dari kemerdekaan yang telah diraih.

Oleh karena itu, Pemprovsu yang menjadi wakil pemerintah pusat di daerah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan salah satu hak utama masyarakat tersebut.

Jaminan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas tersebut juga merupakan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Salah satu indikasi penyelenggaraan pendidikan dapat dikatakan layak dan berkualitas apabila didukung dengan alokasi anggaran sebesar minimal 20 persen dari APBD Provinsi.

Sebagai wakil rakyat rakyat dipercaya menjadi Ketua Komisi E DPRD SU yang kedua kali, saya cukup banyak mengetahui perkembangan program pendidikan di Sumatera Utara.

Sebenarnya, harapan untuk pengembangan pendidikan di Sumatera Utara itu mulai muncul ketika Syamsul Arifin menjadi Gubsu yang didamping Gatot Pujo Nugroho sebagau Wagubsu.

Dengan program “Rakyat Tidak Bodoh”, Syamsul Arifin mengalokasikan anggaran pendidikan sekitar Rp190 milyar pada tahun 2009 meski APBD pada masa itu masih sekitar Rp.5 Trilyun termasuk PAPBD SU 2009.

Pada  2010, Gubsu yang memiliki gelar Datuk Lilawangsa Hidayatullah itu menaikkan anggaran pendidikan 100 persen lebih menjadi Rp385 milyar, juga menyiapkan dana insentif bagi kalangan guru sebesar Rp50 ribu per orang.

Meski dipenjara karena kasus korupsi ketika masih menjadi Bupati Langkat, Syamsul Arifin masih berupaya menaikkan insentif guru menjadi Rp60 ribu.

Ternyata, mantan Gubsu yang dikenal sebagai tokoh organisasi kepemudaan tersebut memiliki kepedulian yang cukup besar pada guru nasib dan dunia pendidikan di Sumatera Utara.

Karena mampu membuktikan diri sebagai provinsi yang peduli pada dunia pendidikan, Sumatera Utara dipercaya menjadi tuan rumah Olimpiade Sains Nasional (OSN) pada tahun 2010.

Lalu, bagaimana nasib pendidikan di Sumatera Utara dibawah kepemimpinan Gatot Pujo Nugroho yang merupakan seorang mantan dosen dan pernah aktif di dunia pendidikan.

Ketika kekuasaan di Pemprovsu beralih dengan dinonaktifkannya Syamsul Arifin sebagai Gubsu, anggaran pendidikan pada 2011 mengalami penurunan menjadi sekitar Rp220 milyar.

Mungkin, karena mendekati tahun pemilukada, anggaran itu sempat dinaikkan menjadi sekitar Rp260 milyar pada 2012 dan Rp285 milyar pada 2013, dengan APBD yang telah meningkat dua kali lipat yakni Rp8 Triliun lebih.

Ironisnya, dalam RAPBD 2014 yang direncanakan Rp9 triliun lebih, jumlah anggaran pendidikan bakal “terjun bebas” menjadi Rp185 milyar.

Dengan RAPBD yang mencapai Rp9 Triliun lebih tersebut, berarti Pemprovsu hanya mengalokasi anggaran pendidikan sebesar dua persen. Sangat jauh dari amanat UU yang mengharuskan anggaran pendidikan 20 persen.

Dengan alokasi pendidikan yang direncanakan hanya sekitar Rp185 milyar, muncul pertanyaan besar, kearah mana pendidikan Sumatera Utara akan dibawa Gubsu Gatot Pujo Nugroho?. Apa yang dapat dilakukan dengan anggaran yang relatif sangat kecil itu?

Padahal, dalam kampanye pemilukada yang diselenggarakan pada awal 2013, Gatot Pujo Nugroho dyang berpasangan dengan HT Erry Nuradi menawarkan janji yang sangat manis dalam program pendidikan.

Salah satu janji manis dalam pemilukada yang cukup “menggiurkan” itu adalah rencana pembangunan 45 ribu kelas baru dan anggaran pendidikan sebesar Rp 1 triyun  guna memberikan tempat yang layak bagi siswa dalam menuntut ilmu. Janji itu juga disampaikannya dalam Musrenbang yang dilaksanakan di Hotel Santika Medan.

Kalau pembangunan satu kelas saja membutuhkan Rp50 juta, berarti Pemprovsu harus mengalokasikan anggaran Rp2,25 triliun selama lima tahun. Jika dibagi lima, berarti dibutuhkan Rp450 milyar per tahun.

Anggaran Rp450 milyar per tahun itu hanya untuk membangun ruang sekolah baru, diluar belanja pegawai dan keperlu rutin lainnya. Kalau tidak direalisaikan pada 2014 sebagai tahun anggaran pertama kepemimpinan bersama HT Erry Nuadi, hampir bisa dipastikan jika Gatot Pujo Nugroho hanya obral janji.

Sekedar pembelajaran bagi semua kalangan, mungkin menarik untuk melihat isu yang diusung Pemprovsu berdasarkan prioritas pembangunan pendidikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sumatera Utara tahun 2015–2025.

Dari Naskah Akademik Draf RPJMD Sumatera Utara itu, ditentukan skala prioritas yang berhubungan dengan pembangunan pendidikan yang tercantum dalam sembilan rencana aksi dalam memberhasilkan agenda pembangunan.

Ke-9 rencana aksi itu adalah 1). Meningkatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi diatas 20 persen pada tahun 2018, 2). Peningkatan kualifikasi akademik, sertifikasi, evaluasi, pelatihan, pendidikan, dan penyediaan berbagai tunjangan dan beasiswa guru, dan 3). Pemberian intensif bagi guru PNS dan non PNS serta insentif tambahan bagi guru yang berada didaerah terisolir.

Kemudian, 4). Memperluas wilayah pembangunan perpustakaan – perpustakaan / taman baca anak – anak bekerjasama dengan kabupaten/kota, 5). Wajib belajar 12 tahun dengan menerapkan kebijakan lanjutan pendidikan gratis bagi siswa SLTA mulai tahun 2014 (Pembangunan ruang kelas baru sebanyak 45.000 tuntas tahun 2018), dan 6). Penyaluran dana BOS secara partisipatif dan transparan berbasis kebutuhan sekolah dan wilayah.

Setelah itu, 7). Pendidikan Lingkungan Hidup bagi masyarakat dan anak – anak di Sumatera Utara, 8). Meningkatkan partisipasi politik warga Sumatera Utara khususnya perempuan melalui pendidikan demokrasi bagi warga sumut, dan 9). Peningkatan aksessibilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Seluruh rencana aksi yang dibuat Pemprovsu dibawah kepemimpinan Gatot Pujo Nugroho itu sangat manis, apalagi jika disampaikan dalam kampanye untuk menarik simpati masyarakat.Ironisnya lagi, dengan kesan adanya upaya pembodohan, Pemprovsu justru ingin mengklaim dana Bantuan Operasi Sekolah (BOS) sebesar Rp1,7 trilyun yang dicadangkan pemerintah pusat sebagai dana pendidikan dari APBD Sumut.

Jika diakumulasikan dengan anggaran yang dialokasikan dari APBD Sumut, jumlah seluruhnya memang lebih 20 persen. Namun BOS itu adalah anggaran pusat yang ditujukan untuk mendukung pendidikan di daerah.

Sebagai wakil rakyat, tentunya saya berkewajiban untuk mengingatkan Pemprovsu agar menepati janjinya agar masyarakat Sumatera Utara bias mendapatkan haknya dalam pendidikan yang layak dan berkualitas. Juga memastikan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek obral janji dalam kampanye pemilukada.***

Penulis adalah Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *