Mencari Arah Pertanian
Pembangunan di sector pertanian di Sumatera Utara dinilai tidak jelas. Sumatera Utara yang dahulu dikenal sebagai lumbung beras dan berhasil sebagai provinsi swasembada beras berangsur-angsur mengalami kemunduran. Jumlah lahan pertanian di Sumatera Utara mengalami penurunan akibat dari adanya alih fungsi lahan pertanian ke sektor lain, seperti beralih ke perumahan, perkebunan dan sektor lainnya. Penyusutan lahan pertanian, secara otomatis mempengaruhi hasil tanam yang diperoleh. Kemampuan bibit unggul menghasilkan hasil tanam belum mengembirakan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak mampu menghempang terjadinya orang untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian ke sektor lain. Begitu juga upaya meningkatkan sector pertanian juga tidak kunjung dilakukan. Sumatera Utara yang tadinya sebagai lumbung beras menjadi penerima impir beras yang dilakukan pemerintah pusat.
Brilian pada waktu menjadi anggota Komisi B DPRD Sumatera Utara dihadapan sejumlah wartawan, 19 November 2010 mempertanyakan arah kebijakan pembangunan pertanian di Sumatera Utara, mengingat masih seringnya terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009.
“Arah pembangunan pertanian Sumatera Utara sama sekali tidak jelas dan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan masih terjadi di banyak sektor. Untuk itu Pemprovsu perlu membuat garnd desain pertanian di daerah ini, benar-benar tepat sasaran,” ujarnya.
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2009, pemerintah termasuk pemerintah daerah berkewajiban memberikan perlindungan sekaligus memberdayakan petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani. Perlindungan itu berupa memberikan jaminan terhadap komoditas pangan pokok yang menguntungkan, jaminan memperoleh sarana produk dan prasarana pertanian. Menjamin pemasaran hasil pertanian pangan pokok, mengutamakan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional serta menjamin ganti rugi akibat gagal panen.
Faktanya, pemerintah termasuk pemerintah daerah belum sepenuhnya mengindahkan ketentuan perundang-undangan tersebut. Salah satu contoh masih lebih dipentingkannya impor yang berdampak langsung terhadap harga beras petani.
“Untuk Sumatera Utara sendiri impor beras dijatah hingga 45 ribu ton per tahun, yang kemudian mengakibatkan harga gabah anjlok. Lucunya, pemerintah menetapkan HPP (harga pembelian pemerintah) dibawah harga pasar, sehingga petani cenderung menjual beras ke pasar, bukan kepada pemerintah. Pemerintah justru lebih suka menjual DO impor beras,” katanya.
Brilian menilai, pemerintah telah gagal dalam membangun sektor pertanian. Ini dapat dilihat dari langkah Indonesia yang terpaksa harus mengimpor berbagai bahan kebutuhan pokok terutama beras.
Pembangunan sektor pertanian di Indonesia telah gagal total. Lahan pertanian di Indonesia yang sudah dipetakan termasuk jaringan irigasi yang dibangun sejak zaman penjajahan Belanda, kini banyak yang dibiarkan beralih fungsi.
Akibatnya, hasil pertanian kini tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan sekitar 235 jita jiwa penduduk Indonesia. Indonesia seolah-olah bangga menjadi negara pengekspor sawit. Di sisi lain tidak mempertimbangkan ketersediaan bahan kebutuhan pokok sehingga harus terus mengimpor beras.
Terus berkurangnya luasan areal pertanian dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan bahan pokok masyarakat, membuat posisi tawar Indonesia menjadi semakin lemah. Negara pengekspor bahan kebutuhan pokok dapat mengendalikan harga sesuka hati. Harga beras impor asal Thailand misalnya, bergerak naik menjadi US$ 540 per ton. Sebelumnya masih US$ 525-530 per ton.
“Vietnam atau Thailand bisa saja kembali menaikkan harga. Mereka tahu Indonesia tak mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri,” ujarnya.
Kondisi serupa juga bisa terjadi pada komiditas lain. Mekanisme pasar yang menganut sistem ekonomi kapitalis yang selama ini dilakukan pemerintah dengan cara terbuka. Kegagalan pemerintah pusat dalam melakukan pembangunan pertanian juga terjadi di Sumatera Utara. Pemprovsu dinilai belum memberikan jaminan akan ketersediaan sarana produksi dan prasarana pertanian, sehingga jauh dari visi mili “rakyat tidak lapar” yang diusung diet Gubernur Syamsul Arifin dan Wakil Gubernurt Gatot Pujo Nugroho. Brilian juga menilai Pemprovsu hingga kini juga tidak pernah melakukan pemetaan lahan pertanian. Tidak adanya jaminan harga, distribusi dan pemasaran.
Dari 10 komoditas hasil pertanian utama yakni beras, jagung, kedelai, gula pasir, daging, ubi kayu, minyak goreng, kacang tanah, ikan dan telur. Tujuh diantaranya hingga kini masih impor
“Hanya ubi kayu, minyak goreng dan telur yang tidak kita impor,” ujarnya.
Berdasaran laporan instansi terkait yang diperoleh Brilian, Sumatera Utara selalu mengalami surplus untuk seluruh komoditas pangan utama. Tapi sepertinya impor memberikan kenikmatan yang lebih ketimbang berupaya meningkatkan produk petani.
Seharusnya Pemprovsu telah mengetahui secara pasti kebutuhan konsumsi pangan di daerah ini dan kemudian melakukan pemetaan lahan-lahan pertanian berdasarkan komoditas, letak geografis, iklim, jenis bibit, modal, infrastruktur termasuk pengairan serta luasnya lahan.
Luas lahan pertanian pangan seharusnya juga tidak boleh diganggu-gugat. Justru yang terjadi sebaliknya, alih fungsi lahan terjadi hampir di semua daerah. Pemerintah daerah seharusnya benar-benar memenuhi UU No. 41 Tahun 2009 termasuk ketentuan pidana yang diatur pada Pasal 72, 73 dan 74. Pelanggar mulai dari perseorangan, pejabat pemerintah hingga korporasi dapat diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp. 7 miliar.
Banyaknya pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 41 Tahun 2009, menurut Brilian mencerminkan tidak jelasnya arah pembangunan pertanian di Sumatera Utara. Pemprovsu juga belum memiliki grand desain besar pembangunan pertanian. Brilian meminta instansi terkait mulai dari Bappeda, Dinas Pertanian, Pekebunan, Badan Ketahanan Pangan, Badan Pertanahan Nasional, Dinas Kehutanan, Bulog dan juga lembaga perbankan duduk bersama untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah, khususnya menyangkut 10 komoditas utama.
Persoalan lain juga tidak luput disoroti merosotnya hasil pertanian penyaluran pupuk bersubsidi. Tahun anggaran 2011 Brilian mengkhawatirkan akan kembali mengalami keterlambatan seperti di tahun 2010. Pasalnya, hingga akhir tahun 2010, Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian untuk penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2011 belum juga ditandatangani menteri pertanian.
Kepada wartawan Kamis 16 Desember 2010 Brilian menyampaikan keterlambatan penyaluran pupuk bersubsidi bisa lebih parah dari tahun 2010 yang diperkiraka akan tersalurkan pada akhir kwartal pertama tahun 2011.
Belum ditandatangani SK Menteri Pertanian tentang kuota distribusi pupuk bersubsidi bagi petani sama halnya seperti pengalaman di tahun 2010 yang menghambat penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani. Kalau SK Menteri Pertanian turun di bulan Desember 2010 ini, mungkin pendistribusian akan berlangsung di bulan Maret 2011. Tetapi kalau SK Menteri Pertanian di bulan Desember belum juga turun, diyakini di bulan Maret 2011 pendistribusian pupuk bersubsidi tidak ada terealisasi. Bisa-bisa distribusi pupuk terealisasi di bulan April 2011.
Permasalahan yang terjadi selama ini, Kabupaten dan kota tidak mengalokasikan dana pendamping untuk pupuk bersubsidi. Begitu juga Kabupaten, kota dan provinsi terlambat membuat SK kuota pupuk bersubsidi.
Tahun 2011, seluruh kabupaten, kota dan provinsi telah mengeluarkan SK kuota pupuk bersibsidi. Tapi kementerian Pertanian belum juga menandatangani SK Menteri tentang kuota pendistribusian pupuk bersubsidi untuk provinsi Sumatera Utara. Brilian menilai kesalahan penyaluran pupuk berada di tangan pemerintah pusat, bukan pada produsen pupuk. Kabupaten, kota dan provinsi telah mengajukan usulan kuota pupuk bersubsidi ke Menteri Pertanian.
Brilian meyayangkan, keterlambatan Menteri Pertanian dalam menandatangi SK pupuk bersubdisi kabupetan, kota dan provinsi tidak aktif dalam sosialisasi ke lapangan terkait pemenuhan pupuk bersubsidi di Sumatera Utara. Selama ini pupuk bersubsidi yang diperoleh masih jauh daripada permintaan petani. Penyaluran pupuk bersubdisi sering tidak sesuai dengan jadwal tanam petani dan kabupaten dan kota juga tidak mengalokasikan dana pendamping di APBD daerah masing-masing.
Beberapa hal kesalahan hendaknya kabupaten dan kota dapat berkordinasi, baik dengan DPRD kabupaten/kota dalam hal penyediaan anggaran pendamping di APBD masing-masing daerah lebih kurang Rp. 50 juta sampai Rp. 100. juta per daerah, tergantung luas pertanian daerah masing-masing.
Keseriusan Brilian dalam memperjuangkan nasib petani untuk meningkatkan hasil pertanian, seperti mendapatkan pupuk bersubsi tidak pernah berhenti. Untuk mengetahui akar persoalan petani Brilian menfasilitasi dialog antara petani di Kecamatan Medan Selayang, Medan Tuntungan dan Medan Sunggal dengan Dinas Pertanian Sumatera Utara di Kantor Lurah Padang Bulan Selayang 2 di Jalan Bunga Mawar Medan, Sabtu 14 Januari 2012.
Upaya yang dilakukak untuk mencari titik terang dalam persoalan yang dihadapi petani. Brilian juga mengharapkan petani tidak patah semangat dan tidak mudah menyerah terhadap permasalahan yang terjadi dan membantu masyarakat dalam mendapatkan pupuk dengan menyiapkan pelatihan dalam membuat bahan penyubur tamanam.
Dalam dialog yang digagas Brilian, petani mendapat kesempatan untuk menyampaikan persoalan pertanian langsung kepada Dinas Pertanian Sumatera Utara. Keluhan yang disampaikan masih seputar sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi di pasaran. Kondisi ini menyebabkan kalangan petani harus mengeluarkan dana lebih besar untuk membeli penyubur tanaman tersebut guna meningkatkan produksi pertaniannya.
Ketua Kelompok Tani Mekar dari Kecamatan Medan Tuntungan, Suparni yang ikut dalam acara dialog mengaku sulit mendapatkan pupuk bersubdi. Akibatnya hasil pertaniannya tidak terlalu memberikan keuntungan. Ini karena harus mengeluarkan biaya cukup banyak untuk membeli pupuk non subsidi yang harganya lebih mahal.
Ketua Kelompok Tani Harapan Kampung Susuk, Kecamatan Medan Selayang, M. Sembiring juga mengeluhkan pupuk bersubsidi. Meski pupuk bersubsidi ada, tetapi kehadirannya dipasaran sering terlambat sehingga petani terpaksa membeli pupuk non subsidi.
Pendistribusian pupuk yang seharusnya diperuntukkan untuk para petani, akhirnya jatuh ke perusahaan perkebunan besar yang sepatutnya tidak layak mendapatkan pupuk subsidi.
“Secara proaktif, instansi berwenang harus segera melakukan pengawasan secara ketat tentang pendistribusia pupuk bersubdisi ini. Kalau ini tidak segera dilakukan, kita khawatir hasil pertenian dan tanaman pangan di daerah ini akan menurun, karena masyarakat susah mendapatkan pupuk bersubsidi,” kata Brilian kepada wartawan Kamis, 30 Desember 2010.
Brilian menduga dalam pendistribusian pupuk bersibdisi ini banyak spekulan-spekulan yang bermain. Akibatnya pupuk yang seharusnya diperuntukkan bagi para petani skawa kecil, sangat langkah dipasaran. Anehnya lagi, kalaupun ada harganya sudah di atas harga eceran Tertinggi (HET).
Alokasi pupuk bersibsidi untuk sektor perkebunan sebesar 52.290,40 ton sangatlah besar. Karena menurutnya para petani yang memiliki lahan di atas 2 hektar sudah merupakan petani yang tidak perlu disubsidi lagi, dan kondisi ini banyak terjadi di sektor perkebunan.
Alangkah baiknya, alokasi pupuk bersubdidi untuk sektor perkebunan ini dialihkan saja kepada sektor lain atau alokasinya dikurangi saja, sehingga kebutuhan masyarakat akan pupuk subsidi dapat terpenuhi. “Saya rasa, masukan ini dapat menjadi kajian bagi instansi terkait,” ujarnya.
Kebutuhan masyarakat pupuk subsidi sesuai data yang dimiliki Brilian tahun 2011 Sumut membutuhkan pupuk subsidi sekitar 2.275.398 ton terdiri dari jenis Urea 573.164 ton, SP 36 sebanyak 310.742 tom, ZA 142.187 ton, NPK 481.840 ton dan organik 767.465 ton. Sementera pemerintah mengalokasikan hanya 562.500 ton terdiri dari jenis Urea 237.000 ton, SP 36 sebanyak 48.000 ton, ZA 58.000 ton, NPK 149.500 ton dan Organik 70.000 ton.
Sulitnya petani untuk mendapatkan pupuk subsidi akan berdampak langsung pada kemampuan petani dalam memaksimalkan hasil panen. Semakin sulit petani mendapatkan pupuk subsidi, hasil panen akan berkurang. Banyak petani yang tidak sanggup membeli pupuk non subsidi yang harganya jauh lebih mahal.
Keberhasil Sumatera Utara memproduksi pangan untuk kebutuhan masyarakat Sumatera Utara ternyata tidak serta merta harga pangan di Sumatera Utara menjadi murah. Data dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumut, jumlah produksi beras Sumatera Utara sebesar 2.040.924 ton per Desember 2010. Namun ternyata jumlah kebutuhan beras masyarakat Sumatera Utara per Desember2010 adalah berjumlah 1.807.509 ton. Dari data tersebut Sumatera Utara surplus beras. Anehnya suplus beras yang berhasil dilakukan Sumatera Utara tidak mampu menekan kenaikan harga beras begitu signifikan sampai ke level Rp. 10.000 per kilogramnya pada Januari 2011.
Kepada sejumlah wartawan di gedung dewan Senin, 28 Maret 2011 Brilian menyatakan ketidakseriusan Pemprovsu dalam menangani masalah ketahanan pangan ini semakin terlihat dalam hal penganggaran APBD Sumatera Utara tahun 2011 yang memberikan anggaran bagi Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumut sebesar Rp. 5.987.773.907. Bila dibandingkan denganAPBD 2010 lalu sebesar Rp. 29.542.202.724,- dapat dilihat penuruan yang sangat besar. Berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat yang menaikkan anggaran yang bersumber ABPN sebesar Rp. 10.444.100.000,- di tahun 2010 menjadi Rp. 18.243.614.000,- tahun 2011.
Pada rapat dengar pendapat Komisi B DPRD Sumatera Utara dengan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara, diketahui program Ketahanan Pangan yang dicanangkan tidak mendapat dukungan SKPD-SKPD terkait lainnya. Ternyata sangat sulit bagi Badan Ketahapan Pangan Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan koordinasi dengan SKPD terkait lainnya. Agar ada satu visi yang jelas dalam menyelesaikan permasalahan krisis pangdan di Sumatera Utara.
Brilian mengusulkan untuk mengatasi persoalan pangan di Sumatera Utara, unsur pimpinan DPRD Sumatera Utara segera membentuk Pansus Ketahanan Pangan guna memberikan ruang terbuka bagi penyelesian persoalan yang berkaitan dengan Ketahanan Pangan. Dengan adanya Pansus dapat mendorong seluruh SKPD-SKPD terkait untuk lebih fokus dan sigap dalam mengahadap krisis pangan.
“Masalah krisis pangan, harusnya menjadi perhatan serius pemerintah daerah. Sebenarnya banyak hal yang seharusnya dapat dilakukan Provinsi Sumatera Utara dalam sektor Ketahanan Pangan ini. Kalau kita hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat saja, itu sama artinya Pemprovsu tidak memiliki kemandirian dalam mensejahterakan masyarakatnya,” kata Brilian.