Kinerja Pemprovsu, Antara Harapan dan Kenyataan
Oleh: Brilian Moktar, SE, MM.
Sesuai dengan amanat rakyat, pemerintah ditugaskan untuk
menjalankan berbagai kebijakan pembangunan guna menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat.
Amanat itu juga dibebankan untuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) yang mendapatkan mandat dari masyarakat untuk menjalankan berbagai kebijakan pembangunan.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan, bahkan keseriusan Pemprovsu dalam menjalakan amanat tersebut, perlu dilakukan evaluasi dan kilas balik sebagai refleksi akhir tahun.
Repleksi itu sangatlah penting. Selain untuk menjadi wadah pencerahan kepada masyarakat, juga menjadi evaluasi bagi Pemprovsu terhadap kinerja dan janji-janjinya terhadap rakyatnya.
Sebagai anggota dewan yang mendapatkan amanat dari masyarakat Sumut, saya merasa perlu untuk mengevaluasi kinerja Pemprovsu. Selain untuk menjadi masukan dalam kebijakan pembangunan, evaluasi itu bagian dari tanggungjawab terhadap rakyat dan kontituen dalam mengawasi kinerja pemerintah.
Infrastruktur Tidak Mendukung
Setiap tahunnya, keberadaan infrastruktur selalu disorot karena menjadi urat nadi seluruh aktivitas perekonomian masyarakat. Ironisnya, selain tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan, infrastruktur yang dibangun pun lebih memprioritaskan kepentingan industri besar.
Padahal dalam kenyataannya, aktivitas industri hanya dikuasai kalangan kapitalis. Sedangkan aspek inflastruktur yang membangkitkan perekonomian masyarakat kecil, seperti pertanian dan nelayan, UKM dan pariwisata terabaikan.
Karena itu tidak mengherankan jika hasil pertanian, laut dan produk UKM sulit bersaing karena terkendala infrastruktur yang rusak. Dengan kondisi infrastruktur yang rusak, petani sulit membawa hasil pertanian ke lokasi pemasaran, boro-boro pemerintah membantu teknologi canggih. Dari 25 tahun yang lalu hingga saat ini, pemerintah hanya membantu handtraktror. Program mekanisasi pertanian masih menjadi tanda tanya.
Kondisi itu dimanfaatkan pemilik modal untuk mengambil untung dari petani. Karena itu, bukan rahasia lagi jika banyak hasil pertanian mendapatkan harga yang murah dan tidak membawa pengaruh besar dalam meningkatkan taraf kehidupannya.
Contohnya dapat dilihat dari petani cabai di daerah pedalaman Kabupaten Karo dan Simalungun yang sulit membawa hasil pertaniannya ke kota atau lokasi pemasaran. Akibatnya, banyak tengkulak yang datang ke pedesaan dan membeli cabai mereka dengan harga murah, bahkan hanya Rp15.000 per kg. Namun di pasaran, cabai itu dijual dengan harga Rp30.000 hingga Rp40.000 per kg.
Demikian juga dengan petani padi di pedalaman Tobasa, Simalungun, Labuhanbatu, Langkat dan Deli Serdang yang sulit membawa gabahnya ke kota. Gabah kering mereka dibeli tengkulak hanya dengan harga sekitar Rp4.500 per kg.
Namun setelah digiling, gabah yang telah menjadi beras itu dijual Rp9.000 per kg. Sungguh kasihan, petani yang capek menanam, orang lain yang mengambil untung.
Peternakan Dibatasi
Sangat mengherankan kebijakan yang diterapkan Pemko Medan yang membatasi perkembangan usaha peternakan kaki empat yang dijalankan masyarakat. Ironisnya, Pemprovsu tidak berbuat banyak.
Padahal usaha peternakan sangat strategis karena kebutuhan masyarakat terhadap daging selalu tinggi, bahkan meningkat, terutama menjelang hari besar nasional dan keagamaan.
Kekhawatiran itu mulai muncul dengan sulitnya mendapatkan daging beberapa bulan lalu. Akibatnya, Pemprovsu harus mengimpor daging atau mendatangkannya dari provinsi lain.
Seharusnya Pemprovsu dapat menekan Pemko Medan untuk mengatur perizinan industri agar tidak merusak atau membawa pengaruh buruk bagi sektor perikanan, peternakan, pertanian dan UKM.
Contohnya, industri harus dilarang beroperasi di daerah yang banyak memiliki lokasi pertanian dan peternakan, baik hewan kaki empat mau pun tambak ikan dan udang. Limbah yang dihasilkan di sebuah industri akan meracuni lokasi pertanian dan peternakan tersebut. Apalagi kalau pihak industri itu suka membuang limbah dengan sembarangan ke sungai.
Sektor Perikanan Menyedihkan
Rasanya, tidak terlalu dramatis jika perkembangan sektor perikanan di Sumut dianggap sangat menyedihkan dengan munculnya aturan yang tidak berpihak pada nelayan kecil dan pembiaran praktek penangkapan ikan yang tidak menghiraukan kelestarian lingkungan.
Karena itu tidak mengherankan jika banyak yang menyebutkan Indonesia, terutama Sumut seperti tikus yang mati di lumbung padi. Akibat kebijakan perikanan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, Sumut menjadi salah satu daerah pengimpor ikan, terutama dari Malaysia, Thailand dan Tiongkok.
Padahal, potensi laut di Indonesia, termasuk Sumut sangat luas, bahkan melebihi potensi yang dimiliki Malaysia dan Thailand. Lalu, kenapa kita masih mengimpor ikan? Itu semua karena ada yang salah dalam kebijakan di sektor perikanan, baik kebijakan pemerintah daerah mau pun pusat.
Kondisi itu diperparah dengan penelantaran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang banyak menghabiskan anggaran negara. Contohnya TPI di Asahan dan Nias yang terlantar akibat dibangun di lokasi yang tidak tepat. Kalau pun ada TPI yang bagus, pengelolaannya justru diserahkan ke pihak ketiga.
Untuk itu, Pemprovsu harus meninjau ulang kebijakan perikanan yang diberlakukan selama ini. Contohnya, pola pengelolaan dan lokasi pembangunan TPI, area yang diizinkan untuk lokasi penangkapan ikan, dan penggunaan alat tangkap agar lebih peduli lingkungan.
Selama ini, Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut banyak menerima keluhan nelayan karena wilayah penangkapan ikan untuk nelayan tradisional sangat tidak memadai, belum lagi banyak alat tangkap ikan yang yang dilarang pemerintah masih beroperasi, sehingga menyebabkan sulitnya perkembanbiakan ikan, termasuk pembabatan hutan bakau sebagai lokasi penetasan telur ikan. Bagaimana ikan bisa berkembang biak, kalau semuanya dirusak dan tidak ada aturan yang kuat.
Minim Sarana Kreatif
Sebagai salah satu kota besar, Sumut sangat menyedihkan karena minimnya lokasi dan sarana kreatif bagi kalangan pemuda dan remaja. Seperti di Medan, yang ada Lapangan Merdeka, itupun lokasinya sangat terbatas.
Karena itu, tidak mengherankan jika banyak pemuda dan remaja di sumut menjadi generasi stres dan mencari aktivitas lain meski menimbulkan keresahan dan berhadapan dengan hukum seperti narkoba atau menjadi anggota geng motor.
Ironisnya, Pemprovsu hanya berdiam diri dan tidak melakukan tindakan apapun meski dampak negatif dari minimnya sarana kreatif tersebut mulai kelihatan. Seolah-olah, Pemprovsu menganggap terjerumusnya remaja dalam narkoba dan geng motor adalah hal yang biasa.
Penonton Proyek Besar
Nampaknya, Pemprovsu bakal menjadi penonton saja dalam sejumlah proyek besar pemerintah pusat seperti pembangunan bandara internasional Kuala Namu, KEK Sei Mangke, dan pengambilalihan PT Inalum.
Di Sei Mangke yang bisa menampung ratusan ribu tenaga kerja, pemerintah pusat telah menyiapkan dana yang sangat besar. Namun pemanfaatannya terkendalam karena Pemprovsu tidak mampu mengambil peran dalam menyelesaikan masalah ganti rugi tanah.
Dalam pembangunan Bandara Kualanamu, Pemprovsu juga bakal menjadi penonton. Pemkab Deliserdang telah mendapatkan jatah sebagai penyedia air melalui peranan PDAM Tirta Deli. Lalu, apa bagian Pemprovsu. Untuk menentukan nama bandara saja Pemprovsu kesulitan dan tidak mampu menunjukkan “tajinya”.
Demikian juga dengan pembangunan penampungan air bersih di Sibiru-biru yang terkendala karena Pemprovsu tidak mampu membebaskan lahan disana. Padahal pemerintah pusat telah menyiapkan dana ratusan milyar melalui untuk membangunnya.
Terkendalanya pembangunan penampungan air bersih itu menimbulkan kerugian lain yakni banyak masyarakat, industri, termasuk PDAM Tirtanadi yang harus menggunakan air bawah tanah. Pemanfaatan air bawah tanah itu bukan solusi, malah sangat membahayakan. Lama-lama, daratan di Sumut akan menurun dan lebih rendah dari pinggiran laut. Itu sudah dialami DKI Jakarta yang rentan mengalami banjir.
Mimpi Tuan Rumah PON
Nampaknya, Sumut bakal mengalami mimpi di siang bolong lagi untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON). Memang, sejak menjadi tuan rumah pada tahun 1953, Sumut selalu berkeinginan menjadi tuan rumah even olahraga akbar di tanah air ini.
Ketika PON dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 2004, Sumut pernah berkeinginan menjadi tuan rumah tetapi digagalkan Kalimantan Timur pada 2008.
Setelah itu, Sumut berambisi lagi menjadi tuan rumah PON 2012, tetapi disambar Riau yang memiliki kesiapan dan mampu meyakinkan pembuat kebijakan olahraga nasional.
Dalam penyelenggaraan PON di Riau itu, Sumut kembali berkorar-koar untuk menjadi tuan rumah pada 2020. Namun lucunya, Sumut hanya menang dalam omongan tetapi tidak pernah membuktikan diri dengan menyiapkan berbagai sarana olahraga yang dapat digunakan dalam PON.
Satu-satunya sarana olahraga yang dibangun hanya Gedung Serba Guna (GSG) di Jalan Willem Iskandar Medan yang telah diresmikan Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho.
Namun yang menggelikan, sejak GSG diresmikan, tidak diketahui instansi yang berwenang untuk mengelolanya. Bahkan, sejak diresmikan pada pertengahan 2012, bangunan itu baru sekali digunakan yakni kegiatan parade barongsai. Nampaknya, GSG sengaja diselesaikan dengan tidak selesai. Kalau begini, Sumut harus siap-siap gigit jari lagi untuk menjadi tuan rumah PON 2020.
Kalau sudah begini, sangat jelas jika kinerja Pemprovsu masih jauh dari harapan masyarakat. Pemprovsu harus ingat, tidak semua harus diselesaikan dengan perhitungan angka dan kata.
Penulis adalah Bendahara Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut.