Ketika Rasa Aman Tidak Dimiliki

Oleh: Fahrin Malau. SETIAP hari, media tidak pernah absen memberitakan berbagai ben­tuk kejahatan jalanan, mulai dari penjambretan sampai peram­pokan. Tidak tanggung-tanggung. Aksi jambret dan perampokan di­la­kukan pada siang hari dan tempat keramaian. Bukan sampai disitu saja. Aksi yang dilakukan tidak hanya mengambil harta benda korban, juga nyawa.

Melihat aksi kejahatan jalanan yang dilakukan jelas membuat se­ti­ap orang menjadi miris. Betapa tidak. Maraknya aksi jalanan mun­cul rasa khawatir. Bukan tidak mungkin, hari ini orang lain yang menjadi korban. Besok, lusa dan seterusnya bisa jadi kita yang menjadi korban oleh pelaku aksi jalanan.

Tidak adanya rasa aman, berarti telah hilang satu kebutuhan yang mutlak dimiliki manusia. Seorang psikolog terkenal asal Amerika, Abraham Maslow membagi lima kebutuhan manusia yang dia sebut “Hirarkir Kebutuhan Manusia”. Pertama kebutuhan fisiologis. Kedua rasa aman, ketiga dicintai dan disayangi. Keempat harga diri dan kelima aktualitas diri.

Menyimak hirarkir kebutuhan manusia yang diajukan Abraham Mas­low, jelas semua mutlak dibutuhkan manusia. Tidak ada satu manu­sia di dunia ini tidak membutuhkan fisiologis, rasa aman, dicintai dan disayangi, harga diri dan aktualitas diri. Bila kelima hirarkir ke­bu­tuhan manusia dapat terpenihu, boleh dikatakan dapat mencapai kesempurnaan hidup. Sebaliknya, jika salah satu hirarkir kebutuhan manusia yang disebutkan Abraham Maslow tidak terpenuhi, akan terjadi ketimpangan dalam hidup. Kini ketika rasa aman tidak dimiliki, bisa dikatakan kebutuhan manusia belum dapat terpenuhi dengan sem­purna.

Aksi kejahatan jalanan dan kejahatan lainnya di sejumlah dae­rah Indonesia, termasuk Kota Medan menunjukkan peningkatan. Anggota DPRD Sumut Brilian Moktar menilai ini terjadi akumulasi dari lemahnya penegak hukum dan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.

Bila dilihat dari aksi kejahatan yang dilakukan menunjukkan pe­ning­katan. Peningkatan ini dinilai Brilian tidak hanya dari jumlah, tapi bentuk aksi kejahatan yang dilakukan. Kalau dahulu aksi kejahatan yang dilakukan dilakukan pada malam hari dan di tempat sepi, kini di­la­kukan pada siang hari dan di tempat keramaian. Kalau dahulu aksi kejahatan yang dilakukan tidak menyebabkan korban jiwa, kini sudah memakan korban jiwa. Ini berarti aksi kejahatan yang dilakukan sudah dilakukan secara terorganisir dan profesional. Tahun lalu, pihak ke­po­li­sian disibukkan dengan maraknya geng motor yang melakukan aksi kejahatan secara berkelompok. Karena aksi geng motor telah me­re­sahkan masyarakat, baru polisi serius menangani. Setelah aksi geng motor senyap, kini muncul aksi begal. Dilihat dari aksi yang di­la­kukan geng motor dan begal, ada kesamaan yakni melakukan pe­rampokan. Kalau aksi geng motor tidak selalu membunuh korban yang dirampok, justru begal melakukan perampokan dengan membunuh korbannya. Jika dilihat dari bentuk kejahatan yang dilakukan jelas terjadi peningkatan.

“Saya tidak tahu apakah begal ada hubungan dengan geng mo­tor. Saya tidak punya wewenang untuk menyelidiki. Itu tugas dari pihak kepolisian,” ungkapnya.

Efek Jera

Makin meningkatnya aksi kejahatan yang terjadi, membuktikan penegak hukum gagal dalam melaksanakan fungsinya. Hukum dibuat untuk memberikan efek jera. Bila hukum yang diberikan tidak menim­bulkan efek jera, berarti penegak hukum gagal dalam melaksanakan fungsi hukum. “Ini bukan rahasia lagi kalau banyak aparat penegak hukum men­cari keuntungan dalam melaksanakan tugasnya,” tegas Brilian.

Sekarang semua lembaga penegak hukum citranya buruk di mata ma­syarakat. Buruknya citra penegak hukum menyebabkan para palaku aksi kejahatan tidak takut. Sebaliknya semakin berani untuk melakukan aksi kejahatan yang lebih sadis. Brilian mencontohkan Lem­baga Pemasyarakatan (LP) salah satu fungsinya melakukan pem­bi­naan kepada para narapidana. Kenyataan sekarang? Dari se­kian banyak narapidana yang menjalankan hukuman di LP sangat se­dikit yang bertobat dan tidak melakukan kejahatan. Selebihnya sete­lah keluar dari LP, kembali melakukan aksi kejahatan. Ironisnya kejahatan yang dilakukan lebih meningkat. Ironisnya lagi, narapidana yang masih dalam tahanan masih bisa melakukan kejahatan, misalnya mengendalikan dan memakai narkoba di dalam LP.

“Tidak saja di LP. Rutan yang ada di Polsek juga demikian. Para ta­han bisa memakai narkoba,” ungkapnya.

Begitu pula dengan jaksa dan hakim dalam menentukan dan me­mu­tuskan hukuman kepada pelaku kejahatan tidak memberikan efek jera. Sudah sepantasnya pelaku yang sudah pernah dihukum ka­rena aksi kejahatan diberi hukuman lebih berat. Bukan sebaliknya lebih ringan, walau aksi kejahatan yang dilakukan tidak seberat da­ri sebelumnya. Pertimbangan menjatuhkan hukuman lebih berat alasan Brilian karena memberikan efek jera.

Kong kalikong yang dilakukan aparat penegak hukum, upaya mem­berikan rasa aman tidak pernah selesai. Sebaliknya. Aksi keja­hatan akan terus terjadi dimana saja dan kapan saja.

Bersinergi

Melihat aksi kejahatan yang dilakukan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, aparat penegak hukum, khususnya pihak kepolisan harus bersinergi dengan masyarakat dan pemerintah dan instansi lain­nya. Bila persoalan keamanan sepenuhnya menjadi tanggungjawab pihak polisi, jelas tidak bisa terselesaikan.

“Sudah pantas status Polresta Medan ditingkatkan menjadi Pol­tabesta Medan,” usul Brilian.

Status Polresta Medan sudah tidak tepat lagi bila dilihat dari lu­as wilayah dan jumlah penduduk. Brilian mencontohkan Kota Semarang dengan Kota Medan. Jumlah penduduk Kota Medan lebih banyak Kota Semarang. Begitu juga dengan luas. Kota Semarang tidak lebih luas dari Kota Medan. Kenyataannya Kota Semarang sudah Poltabesta, sedangkan Kota Medan masih Polrestas. Perbedaan status mempe­nga­ruhi jumlah personil dan kelengkapan seperti anggaran yang di­se­diankan. Dengan jumlah personil dan anggaran yang disediakan, tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kejahatan di Kota Medan.

Mengingat keterbatasan personil dan luasnya wilayah, polisi harus bisa bersinergi dengan masyarakat dan pemerintah daerah mulai dari kepling sampai walikota. Kenyataan yang terjadi, belum ada sinergi yang tercipta antara masyarakat dan pemerintah daerah. Bahkan sam­pai sekarang belum ada sinergisitas antara polisi dengan pemerintah daerah. Padahal pemerintah daerah memiliki perangkat seperti kepling, lurah, camat yang bisa diberdayakan untuk menciptakan rasa aman ke­pada masyarakat. Ironisnya kehadiran Babinsa di kelurahan tidak bi­sa menjalankan tugasnya dengan baik. Harusnya kehadiran Babinsa bisa sebagai informasi daerah-daerah yang rawan kejahatan.

“Dari informasi masyarakat yang saya peroleh, daerah yang rawan di Medan Perjangan, Tembung, Area, Timur, Hervetia dan Sunggal. Selain itu daerah berbatasan seperti Percut Sei Tuan dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang. Lokasi yang sering menjadi kejahatan Jalan Bakaran Batu, Jalan Parapat, Jalan Siantar dan beberapa lokasi lainnya,” jelasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *