Kedaulatan Pangan Sumut ‘Omong Kosong’

Foto: Analisa/ferdy) LAHAN PERTANIAN: Luas lahan pertanian di Sumut tidak sebanding dengan kebutuhan beras para penduduknya yang setiap tahun meningkat.
Foto: Analisa/ferdy)
LAHAN PERTANIAN: Luas lahan pertanian di Sumut tidak sebanding dengan kebutuhan beras para penduduknya yang setiap tahun meningkat.

Oleh: Iqbal Nasution

Bukan lautan hanya kolam susu
Tongkat dan kail cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui
ikan dan udang menghampiri dirimu

LIRIK SENANDUNG Koes Plus ini, memvisualisasikan ke­ka­yaan alam Indonesia, tapi pada kenyataannya berbanding terbalik.  Terkait bobroknya ketahanan pangan di Sumetara Utara, Anggota DPRD Sumut, Brilian Moktar, SE, MM menyebutkan, peta ketahanan pangan di Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Serdang Bedagai dan Deliserdang, selama ini lumbung padi, kini nyaris punah. Selain itu, di kawasan Sumatera Timur juga, sudah banyak yang beralih menanam pohon sawit.

Seharusnya, pemerintah memperhatikan kawasan Sumatera Timur dan Tapanuli Selatan sebagai peta ketahanan pangan Sumut. Hal itu, mengingat potensi alamnya masih memungkinkan. Untuk wilayah-wi­layah ini, selayaknya pemerintah membatasi perkebunan kelapa sawit.

Brilian Moktar mengingatkan, jangan sampai terjadi pada Bangsa Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia. Sisi lainnya, pe­merintahan Jokowi ke depannya memiliki green design kedaulatan pangan. Pria kelahiran Jambi, 30 Maret 1966 ini, berharap program ke­daulatan pangan bisa bersinergi antar badan ketahanan pangan, pertanian, perkebunan dan kehutanan. Untuk itu, air menjadi sumber utama. Mirisnya lagi, hingga kini debit air tidak bisa dipastikan.

Hal itu, terjadi akibat banyaknya penebangan-penebangan liar di hutan. Ironisnya lagi, orang-orang yang membatasi penebangan itu, seperti pemerintah, masyarakat dan lembaga peduli lingkungan tak pernah dihiraukan para pembalak liar. Mereka bahkan tidak takut terhadap hewan-hewan buas di hutan.

Menurut pria bertubuh tegap dan tinggi ini, akibat maraknya pe­nebangan hutan di Sumatera Barat, sehingga binatang-binatang bu­as yang ada di sana, banyak lari ke hutan Sumut. Untuk itu, jika Su­mut juga melakukan hal yang sama, maka cadangan air di kedua provinsi ini, menjadi ancaman.

Berbicara tentang ketahanan pangan, harus ada sinergitas antar kementerian, depa­r­temen, dinas provinsi maupun kabupaten/kota. De­ngan demikian, harus punya kebijaksanaan khusus peraturan pe­merintah, bukan keputusan kementerian.

“Kepmen sekarang ini, bukan yang sesungguhnya ingin menye­lamatkan alam Indonesia, karena kepmen saat ini, cara menteri untuk menarik duit dari pengusaha pertanian, perkebunan dan kehutanan. Begitu juga, panitia khusus (pansus) tata ruang yang telah dibentuk, baik provinsi maupun kabupaten/kota, namun tak pernah mem­perhatikan kelangsungan hidup bangsa ini di semua sektor,” cakapnya.

Pejabat kita masih belum cerdas memikirkan masa depan bangsa ini. Indikatornya, berapa banyak duit pemerintah pusat, provinsi, ka­bupaten dan kota untuk membangun irigasi yang ada di Deliserdang dan Sergai, tapi hancur. Mirisnya lagi, bahkan pernah kedua kabupaten itu selama setahun gagal panen, akibat kerusakan dari masyarakat yang tak bisa pemerintah atasi dari sawah menjadi sawit.

Menurutnya, kedaulatan pangan masih bisa diselamatkan, tapi harus ada ketegasan. Pengamatannya selama ini, belum ada pihak ke­jaksaan dan kepolisian yang turun atas pelanggaran-pelanggaran tentang tata ruang. Ironisnya lagi, DPRD Medan, Deliserdang dan Sergai dengan leluasa melanggar tata ruang, bahkan hampir setiap waktu bisa paripurna perubahan peruntukkan.

“Dulu, kita disibukkan dengan maraknya im­por beras. Sekarang permasalahnnya hingga saat ini, belum ada tolak ukur berapa luas sa­­wah yang ada di Sumut. Untuk itu, jika bi­cara tentang kedaulatan pa­ngan, bukan hanya beras, tapi semuanya. Hal itu, seperti peterna­kan, buah-buahan, umbi-umbian dan seluruh­nya yang menjadi kebutuhan pokok ma­­sya­rakat,” ungkap Penasehat Wushu Kota Medan ini.

Sekarang ini, cabai, kacang hijau, kedelai, bawang merah dan putih saja, kita sudah impor. Dengan demikian, masalah kedaulatan pangan di Sumut, menurutnya, ‘omong kosong’. Bayangkan saja, berapa ba­nyak ahli, profesor, doktor dan insinyur pertanian yang dibutuhkan dalam setahun, namun pemerintah tak pernah mengatur regulasi tentang hal itu.

“Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Sumut, banyak profesor yang duduk saja, karena tidak punya pekerjaan, padahal mereka orang-orang yang pintar. Untuk itu, bertepatan hari pangan sedunia pada 14 Oktober 2014, dia memberikan rapor merah kepada Gubernur Sumut dan sebagian besar bupatinya,” tegas Wakil Ketua Bidang PORA DPD PDI Perjuangan Sumut ini.

Masalah pupuk saja, yang tepat untuk tanah di Sumut, tak jelas. Bibit di Pulau Jawa jangan disamakan dengan Sumut, karena struktur ta­nahnya berbeda. Apalagi bibit dari luar negeri. Dengan tegas dia menjelaskan, bibit padi asli Sumut sendiri sudah hampir punah.

“Distribusi pupuk pun politis. Pupuk bersubsidi digunakan untuk politis, sebab agar menjadi distributor bukan soal keperluan dan se­bagainya, tapi harus izin dari bupati. Dengan demikian, pemerintah memberikan izin kepada distributor, bukan kepentingan wilayah lahan, tapi siapa orang saya,” ungkap Bendahara Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumatera Utara itu.

Seharusnya, kalau pupuk berasal dari kementerian pertanian lalu diserahkan kepada provinsi, maka pemerintahan provinsi bekerjasama dengan dinas pertanian setempat, jadi tidak perlu bupati turut campur tangan. Bupati hanya mengeluarkan kebijaksanaan.

Dia mencontohkan, jika kondisi sekarang yang terjadi, maka bisa saja kuota pupuk untuk Kota Siantar dijualnya ke kabupaten Simalungun atau kabupaten/kota lainnya. Hal ini, juga yang menyulitkan polisi untuk mendeteksi kasus-kasus itu, makanya banyak pupuk bersubsidi yang bermasalah.

Dahulu, kita kenal dengan produksi beras Sihotang. Sekarang ini, tak ada produksi beras yang harum itu. Untuk mengembalikan swa­sembada beras di Sumut, pemerintah Provisi Sumut (Pemprovsu) ha­rus berupaya membuat Pantai Timur menjadi lahan khusus per­sa­wahan. Selain itu, tidak boleh ada lahan tambahan dan cadangan air serta yang kebutuhan lainnya harus cukup. Selanjutnya, tak ada penebangan satu batang pohon pun, untuk kepentingan apapun dan siapapun yang memprotes.

Dengan demikian, yang diperlukan peraturan pemerintah. Indikator keberhasilan ketahanan pangan dibidang beras, tidak ada impor beras. Begitu juga, dengan komoditi pangan lainnya. Seluruh Indonesia, hampir di setiap provinsi ada impor kedelai. Jika pemerintah memang komitmen terhadap ketahanan pangan, maka wajib diberikan subsidi kepada petani dalam semua hal. Pemerintah harusnya programnya saat ini, intensifikasi bukan ekstensifikasi lagi.

“Untuk program intensifikasi, pemerintah tidak bisa bentuk. Pe­merintah harus menyadiakan teknologi pertanian, bibit unggul, pola tanam serentak. Apa yang terjadi saat ini, pola tanam masih belum se­rentak. Teorinya saja yang serentak,” keluh Ketua Taruna Merah Putih DPC Medan itu.

Belum lagi bicara tentang ketahanan pangan di bidang nabati, se­perti ikan dan hewan laut lainnya. Dengan demikian, bangsa kita masih memperkosa lahan pertanian, laut dan sungai. Tidak ada upaya pemerintah untuk memperbaiki ekosistem laut dan tanah, agar subur kembali.

Melihat kondisi sekarang, ketahanan pangan Sumut masih am­bu­radul. Selama lima tahun yang lalu dia menjadi wakil rakyat, pemba­ngunan infrastruktur merupakan rekor tertinggi, padahal selain infra­struktur, pertanian, pendidikan dan kesehatan juga menjadi prioritas, namun diabaikan. Hal itu, terbukti dari minimnya anggaran untuk pertanian.

Untuk mendukung semua sektor, khususnya pertanian, maka yang harus dilakukan, yaitu menghidupkan kembali sekolah pertanian me­nengah atas (SPMA). Mereka memang betul-betul diciptakan un­tuk ahli pertanian. Landasannya, harus dimulai dari pendidikan. Mereka disaring menjadi ahli-ahli yang konsentrasi ter­hadap pertanian.

Kemudian, penekanan negara terhadap kabupaten/kota. Se­lanjutnya, dibentuk suatu tim dan diturunkan anggrannya. Selain itu, dilibatkan semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait. Ter­kait otorita untuk pertanian, maka diperlukan pengkajian yang le­bih mendalam, tandas Wakil Ketua Kwarcab Pramuka Kota Medan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *