Festival Perayaan Kue Bulan Walubi Sumut:

Bersama Menumbuhkan Budaya Kebersamaan

FESTIVAL Perayaan Kue Bulan yang diinisiasi Walubi Sumut tak hanya menjadi ruang kebersamaan untuk saling bertegur sapa di antara peserta festival yang berasal dari ragam identitas, tapi juga meretas tumbuhnya budaya kebersamaan.

Delapan potong kue bulan berukuran sekitar 10 cm dan tebal 4 – 5 cm, masing-masing dibungkus dalam kotak plastik berpita merah dengan logo Walubi, terhidang di atas meja bundar beralas kain warna merah di Hall Restoran Wisma Benteng, Medan, Minggu (4/9) malam. Kue bulan atau tiong ciu pia adalah salah satu jenis kue tradisional Tionghoa yang selalu dikaitkan dengan nilai-nilai kearifan lokal. Bentuk kue bulan yang bundar melambangkan kebersamaan, sedang aksara Mandarin yang terukir di atas kue bulan berarti kemakmuran.

“Meski banyak versi tentang legenda kue bulan, tapi intinya perayaan kue bulan adalah menanamkan rasa kebersamaan,” ujar Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Sumut, Brilian Moktar, saat ditemui di tengah kesibukan menyambut tamu undangan.

Dengan kandungan nilai mulia seperti itu, tak heran jika selama ribuan tahun, masyarakat Tionghoa, tak terkecuali di Indonesia, setiap tahun membuat perayaan kue bulan. Tujuannya tak lain untuk mewariskan legasi nilai moral itu dari satu generasi ke generasi. Brilian menambahkan perayaan kue bulan adalah salah satu bentuk kekayaan kebudayaan nusantara. Itu karena etnis Tionghoa Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

Momen Untuk Saling Bertegur Sapa

Sebagai kue untuk perayaan budaya, di Tiongkok kue bulan awalnya disantap jelang Pertengahan Musim Gugur tiba, tepat saat bulan bersinar terang atau purnama. Ketika itu seluruh anggota keluarga keluar dari rumah. Mereka lalu duduk melingkar sembari menyantap kue bulan dan di bawah keindahan sinar bulan. Acara menyantap kue bulan itu dijadikan medium untuk memperkuat dan menjaga kebersamaan di antara anggota keluarga sekaligus menikmati keberhasilan panen mereka.

Perayaan datangnya musim gugur ini memiliki kemiripan dengan perayaan Thanksgiving Day di Amerika, Jika Thanksgiving Day , orang memanjatkan syukur karena hasil panen yang melimpah, demikian juga di Mid-Autumn Festival, rakyat Tiongkok bersyukur akan awal panen sebelum memasuki musim dingin. (Aji Chen Bromokusumo, Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara: 2013)

Budaya perayaan kue bulan ini umumnya dibawa orang-orang Tionghoa berabad-abad yang lalu saat mereka melakukan migrasi ke negara-negara di wilayah selatan Tiongkok (Nanyang), terutama di Asia Tenggara. Para migran Tionghoa itu tak hanya membawa badan mereka, tapi juga termasuk adat istiadat, kebudayaan dan agama mereka. Namun dalam perjalanan sejarah, perayaan budaya orang Tionghoa, karena alasan politik, sempat dilarang sekian lama. Saat retriksi budaya dihapus oleh gelombang reformasi pada 1998, mendadak tanpa diduga, tahun 2020, dunia dilanda Pandemi Pandemi Covid-19. Ruang-ruang pertemuan sosial dibatasi karena alasan keselamatan nyawa.

Itu sebabnya setelah pandemi melandai, inisiatif Walubi Sumut menggelar Perayaan Kue Bulan, atau moon cake festival, banyak menuai apresiasi.

“Setelah dua tahun dilanda Covid-19 ini adalah momen yang sangat pas untuk kita berkumpul bersama dan saling bertegur sapa. Harusnya perayaan jatuh pada tanggal 10 bulan September ini, namun kita laksanakan lebih dulu,” ujar Ketua Panitia Pelaksana acara, Iwan Hartono Alam.

Perayaan kue bulan adalah kegiatan budaya, bukan agama. Dan kebudayaan adalah bagian tak terpisah dari suatu etnis seperti halnya etnis Tionghoa. Karena itu sebagai makhluk budaya, di samping makhluk sosial, ekonomi dan politik, berbagai bentuk kebudayaan material (benda) maupun immaterial (tak benda) yang diwariskan generasi pendahulu wajib dilestarikan dan dikembangkan. Terlebih budaya yang mengandung nilai kearifan lokal. Yang tidak boleh dilakukan adalah mencampuradukkan budaya dengan agama.

Kebersamaan Melampaui Identitas

Menurut Brilian, inti perayaan kue bulan adalah untuk menumbuhkan budaya kebersamaan di antara sesama manusia, saling mendukung meski berbeda-beda.

“Karena hakikatnya kita adalah sebuah keluarga besar bernama Indonesia yang plural dan multikultural,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa acara perayaan kue bulan itu hasil kerja sama Walubi Sumut dengan Komunitas Masyarakat Peduli Amal dan Kebajikan (KOMPAK) dan Rotary Club of Medan Talenta dan melibatkan banyak pihak lain yang mendukung suksesnya acara.

“MC, artis penampil, maupun panitia pendukung semua bekerja secara suka rela, ini juga wujud kebersamaan dalam bentuk lain,” katanya. Toly, atau Hardjotoli, pemimpin Sanggar Lucky Dancing Group, salah satu grup penampil, yang membawakan tarian mengisahkan legenda Dewi kue bulan Chang Er, dengan memadukan teknologi videotron, membenarkan hal itu.

“Para penari kami juga beragam sukunya, ada Batak, Jawa, Melayu, Tiong hoa,” ujar Toly yang bertindak sebagai koreografer saat dihubungi Rabu (8/9).

Soal semangat kebersamaan, Brilian memang tidak berlebihan. Sebanyak 11 majelis agama Buddha yang tergabung dalamWalubi Sumut, juga hadir dalam acara festival kue bulan itu.

Mereka yakni Solihin Chandra dari Majelis Agama Buddha Mahayana Tanah Suci Sumut, lalu Harry alias Goh Sing Guan dari Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia, Oemar Witaryo (Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia), Paimin (Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhen Fo Zong Kasogatan Indonesia), Rudy Setiawan (Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia), Beng Ho Sani (Majelis Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia), Amin Wijaya (Parisadha Buddha Dharma Nichiren Shoshu Indonesia), Sailesh (Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia), Rudi (Majelis Agama Buddha Mahanikaya Indonesia), Edy Martino (Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia), dan Ridwan (Lembaga Keagamaan Buddha Indonesia).

Hadir juga Ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Sumut, Eddy Sujono Setiawan, Pembimas Agama Buddha Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumut, Budi Sulistyo dan Ketut Supardi Ketua Permabudhi. Bapak Taiji Indonesia, Master Supandi Kusuma juga hadir, bahkan ikut menyumbangkan suaranya melantunkan lagu Yue Liang Dai Biao Wo De Xin.

Dari organisasi sosial Marga Tionghoa, hadir Ketua Perhimpunan INTI Sumut, Janlie, Ketua PSMTI Medan, Johan Tjongiran, Ketua harian Masyarakat Indonesia Tionghoa Sumut (MITSU), Juswan Tjoe, Ketua Rotary Club Medan Deli, Kentjana Salim atau biasa dipanggil “Biebie”, dan Ketua Marga Yap, Chandra. Sementara dari barisan politisi hadir Ketua DPRD Medan, Hasyim, anggota DPRD Sumut, Rudy Hermanto, anggota DPRD Medan Wong Tjung Sen dan Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut,
Rapidin Simbolon dan Konsul Jenderal Kehormatan Kerajaan Belanda, Ony Hindra Kusuma.

Melibatkan Sembilan 9 MC

Acara perayaan kue bulan diisi dengan jamuan makan malam sembari dihibur aneka pertunjukan, mulai tayangan videotron dan tari yang menggambarkan legenda Chang Er naik ke hingga berbagai lagu yang dilantunkan sejumlah artis seperti William Tandean, Seven Liaw dan Helen Huang, penyanyi lagu Mandarin Indonesia asal Semarang, Jawa Tengah dan beberapa artis lain.

Tak tanggung-tanggung, untuk mengelola jalannya pertunjukan, tampil sebanyak 9 Master Ceremony dengan ragam “jam terbang” dan ciri khas masing-
masing.

“Bukan hal mudah karena tiap MC hanya tampil 2 kali selama acara hingga mereka harus membawakan materi sesuai tugas mereka. Mereka juga harus mampu mengelola ego masing-masing,” ujar Herman Tristianto, Master of Ceremony kondang yang mengkoordinir penampilan para MC tersebut. Dengan kata lain, rasa kebersamaan sebagai MC, menjadi rambu-rambu etika di antara sesame MC. Tak lain agar mereka tampil sesuai durasi waktu yang disepakati sejak awal. Dan sekali lagi, ini juga soal kebersamaan.

Kebersamaan dalamAksi Kemanusiaan

Namun bicara sukses acara perayaan kue bulan, sebenarnya tak lepas dari peran Ketua Umum KOMPAK Sumut, sekaligus Ketua Panitia Pelaksana, Iwan Hartono Alam. Pengusaha yang aktif melakukan kegiatan sosial ini juga dikenal memiliki kepedulian terhadap kegiatan budaya Tionghoa.

“Di Medan, dari sekian banyak perayaan budaya masyarakat Tionghoa yang paling meriah adalah perayaan Imlek, Cap Go Me, Ceng Beng dan Kue Bulan,” ujarnya. Pada Januari 2022 lalu Iwan semisal membuat Perayaan Cap Go Me atau perayaan hari Imlek ke-15. Juga di Restoran Wisma Benteng. Tamu undangan adalah ratusan kader dan pengurus partai. Suku dan agama mereka beragam. Lewat acara itu, Iwan ingin masyarakat non Tionghoa bisa ikut merasakan kegembiraan perayaan Cap Go Me. Kader dan pengurus partai yang diundang berasal dari PDI Perjuangan Sumut.

“Karena secara ideologi kami sejalan,” ujarnya.

Jika pada April ini ia Bersama Walubi Sumut ia menggelar Perayaan Kue Bulan, Iwan punya alasan sendiri. Suatu hari, dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Pembina Walubi Sumut, ia terlibat obrolan serius dengan Brilian Moktar. Dalam amatan Iwan, tak lama setelah dilantik sebagai Ketua Walubi Sumut, ormas keagamaan itu aktif menggelar kegiatan aksi kemanusiaan, di samping kegiatan keagamaan. Untuk kegiatan sosial, yakni pembagian sembako, sasarannya tak hanya warga miskin kota di Medan, tapi juga merambah ke beberapa daerah lain seperti Deli Serdang. Iwan tentu sangat mendukung kegiatan seperti itu karena wujud dari rasa kepedulian sosial sekaligus bagian dari usaha membumikan Pancasila.

Persoalannya bagaimana agar kegiatan baksos itu dapat berkelanjutan

“Kepada Pak BM, saya usul untuk membuat kegiatan perayaan kue bulan,” ujar Iwan saat ditemui di sebuah kafe di Medan, Senin (5/9). Iwan percaya, masih banyak orang Tionghoa di Medan yang muda tergerak hati mereka untuk berbagi kelebihan rezeki membantu orang-orang miskin. Dan menurut Iwan terbukti pada acara “Malam Kebersamaan Bulan Purnama” itu berhasil terkumpul donasi sebesar Rp 600 juta rupiah.

“Itu artinya memang masih ada semangat kebersamaan dalam mendukung kegiatan-kegiatan aksi kemanusiaan dan keagamaan Walubi Sumut,” katanya. Ia sendiri juga tak segan menanggung seluruh biaya jamuan makan malam bagi para tamu undangan.

Dalam amatan Juswan Tjoe, Ketua harian MITSU, acara perayaan kue bulan itu berhasil melahirkan, “roh kebersamaan” di antara peserta festival, panitia dan para pendukung acara, meski mereka memiliki latar belakang suku, agama dan budaya berbeda.

Barangkali inilah modal sosial yang perlu terus-menerus dikapitalisasi agar ke depan budaya kebersamaan terus terpelihara dalam mendukung berbagai kegiatan kemanusiaan. Bukankah hakikatnya kita adalah satu keluarga besar bernama Indonesia?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *