Buruh WRP Menuntut
PERSELISIHAN antara buruh PT. WRP Buana Multicorpora, perusahaan PMA milik Malaysia bergerak memproduksi sarung tangan karet dengan orentasi 100% exsport terletak di Jalan Jermal No. 20 B Kelurahan Sungai Mati Simpang Kantor Kecamatan Medan – Labuhan Belawan dengan pengusaha berawal dari dihilangkan uang jasa 17 orang yang mengundurkan diri tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu. Selama ini, uang jasa masih diberikan. Pertengahan Februari 2009, ada karyawan yang mengundurkan diri dan uang penghargaan masih diberikan berdasarkan KEPMENNAKER NO.150/2000 Tahun 2000. Dihilangkan uang jasa tersebut secara tiba-tiba sontak menuai protes buruh PT. WRP.
Upaya untuk mengembalikan uang jasa, beberapa kali dilakukan perundingan. Tapi tidak membawa hasil. Poltak Tampubolon ditunjuk buruh sebagai juru runding. Pihak managemen memPHK Poltak secara sepihak tanpa ada kesalahan sedikit pun. 22 sampai 29 Mei 2009 di depan pintu gerbang masuk PT. WRP buruh mengadakan aksi demo. Tidak ada titik temu. Karena tidak ada titik temu, buruh menyampaikan ke anggota DPRD Sumatera Utara. Pada 25 Mei 2009 seluruh buruh melakukan aksi unjuk rasa ke DPRD Sumatera Utara dan langsung ditangani Komisi E DPRD Sumatera Utara. Pada hari itu juga Komisi E DPRD Sumatera Utara meminta perusahaan yang diwakili pihak Management PT. WRP, Robert dan Pardomuan juga Disnaker Sumatera Utara yang diwakilkan Robert Tambunan datang. Disepakati Poltak Tampubolon dipekerjakan kembali dan untuk 17 orang yang mengundurkan diri dibahas 28 Mei 2009 dengan menghadirkan pemilik langsung M. Lee.
Kesepakatan yang telah dibuat di gedung DPRD Sumatera Utara, perusahaan tetap melakukan PHK. Petusan yang diambil memancing kemarahan buruh. Secara spontan buruh kembali mogok kerja dan Poltak Tampobolon kembali mendatangi DPRD Sumatera Utara. Mendengar pengaduan buruh Komisi E yang diketuai Brilian Moktar kaget. Anggota dewan merasa dilecehkan karena apa yang sudah disepakati bersama langsung dilanggar.
Keseriusan DPRD Sumatera Utara ditunjukkan dengan mengadakan pertemuan 28 Mei 2009. Seluruh buruh datang ke DPRD Sumatera Utara untuk mendengarkan sidang yang dihadiri Wakapolda, Disnaker Sumatera Utara, Disnaker Kota Medan. Dari DPRD Sumatera Utara dihadiri Fraksi Golkar, PDI Perjuangan, PKS. Sedangkan dari perusahaan diwakilkan Robert, Pardomuan, Toga Sitorus dan wakil buruh sebanyak 15 orang. Hasil sidang disepakati Poltak Tampubolon berubah status dari PHK menjadi Scorsing dengan catatan gaji jalan terus.
Seluruh buruh bekerja kembali seperti biasa tanpa ada intimidasi dan tanpa syarat apa pun. Lagi-lagi kesepakatan yang sudah dibuat bersama kembali dilanggar perusahaan. Keesokan harinya Robert dan Pardomuan melakukan daftar ulang dan meminta KTP buruh. Karena merasa ditipu dan melanggar perjanjian yang disepakati di gedung dewan, buruh marah dan kembali mogok kerja dan menuntut buruh mau bekerja kembali jika Robert dan Pardomuan dipecat perusahaan. Pihak Disnaker yang diwakili Jhoni Sibuea, Kapolsek Medan Labuhan, beberapa kasad intel KP3 Belawan, wartawan mendamaikan pekerja dan pengusaha. Buruh mengalah dan kembali bekerja sebagian hari itu juga.
Perjuangan buruh mencari keadilan terus dilakukan. Bulan Juni dan Juli sebanyak 400 buruh PT. WRP selama dua pekan menginap di DPRD Sumatera Utara. Sebagai kekecewaan karena persoalan yang mereka alami tidak kunjung selesai, buruh menyatakan tidak akan menggunakan hak politiknya untuk mengikuti pemilu. Salah seorang buruh PT. WRP, Mariaty Tampubolon (36), yang sudah bekerja lebih 10 tahun, dirinya kena PHK secara sepihak karena ikut memperjuangkan nasib 17 temannya yang lebih dulu di-PHK dan tidak mendapatkan pembayaran uang penghargaan masa kerja pada April lalu.
Komisi E DPRD Sumut meminta Gubernur Sumatera Utara, Symasul Arifin turun tangan dalam menyelesaikan persoalan PHK sepihak 386 buruh PT. WRP. Sudah tujuh bulan tidak selesai-selesai. Gubernur Sumatera Utara harus mengingatkan aparatnya di dinas-dinas yang berkompoten dalam persoalan tersebut. Misalnya dengan mencabut izin. Alasanya karena perusahaan tidak mempunyai Surat Izin Operator (SIO) untuk mesin boiler mereka.
“Sampai sekarang perusahaan itu masih beroperasi. Padahal mereka tidak punya SIO. Itukan berbahaya. Kalau mesin boilernya meledak bagaimana. Karena itu jangan sampai DPRD Sumatera Utara teriak-teriak, tapi pihak eksekutif tetap saja membiarkan perusahaan itu beroperasi,” kata Brilian kepada wartawan di gedung DPRD Sumatera Utara, Selasa 22 Desember 2009.
DPRD Sumut sendiri sudah mengeluarkan surat rekomendasi kepada Disnaker, Disperindag dan Polda Sumatera Utara yang pada intinya meminta agar perusahaan ditutup karena tidak mempunyai SIO. Melanggar sistem perundang-undangan di Indonesia. Meminta agar pemilik perusahaan masuk Daftar Pencari Orang (DPO) karena tidak pernah memenuhi panggilan resmi DPRD Sumut.
Demo
Belum cukup melakukan aksi nginap selama sebulan di DPRD Sumatera Utara, buruh PT. WRP terus melakukan aksi demo ke berbagai instansi selama tahun 2009 sampai 2010. Pada7 Juli 2009 aksi unjuk rasa ke gubernur. 25 Juli aksi serupa kembali dilakukan ke kantor gubernur dengan pengawalan Kapolres KP3 Belawan AKBP Robert Harianto, beserta Kapolsek Medan Labuhan AKP Doni Alexander. 28 Juli 2009 buruh ke Dinsosnaker, dihadiri Konjen Malaysia, Komisi E DPRD Sumatera Utara, Disnaker Provinsi. Pertemuan difasilitasi Kepala Dinas Sosial Tenaga kerja Kota Medan, dan beberapa lembaga. Konjen Malaysia, Mr.Fauzi siap memfasilitasi untuk menghadirkan Mr.Lee.
Realisasi dari pertemuan yang dilakukan juga belum dilaksanakan. 6 Agustus 2009 buruh kembali menuju Dinsosnaker Kota Medan, meminta pertanggungjawaban serta tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya. Tidak ada satupun pejabat maupun instansi terkait datang untuk mempertanggungjawabkan hasil rekomendasi pertemuan sebelumnya dengan menghadirkan M .Lee. Untuk melampiaskan kekecewaan, buruh melakukan Long March dari Disnaker menuju ke Walikota. Demi mendapatkan keadilan buruh melakukan aksi. 19 Agustus 2009, sebanyak 200-an orang yang tergabung dalam FRAPSU melakukan long march menuju Konjen Malaysia. Buruh tidak dapat menjumpai Konjen Malaysia. Buruh selanjutnya menuju DPRD Kota Medan. 24 Agustus 2009 buruh mendatangi kembali DPRD Kota Medan. Selanjutnya menuju DPRD Sumatera Utara. Sampai di sana buruh tidak ada satu anggota DPRD Sumatera Utara yang menerima. Akhirnya buruh menuju kantor gubernur.
Aksi demo untuk mendapatkan keadilan terus dilakukan. 31 Agustus 2009 ratusan massa FRAPSU menuju Konjen Malaysia. Setelah itu menuju DPRD Sumatera Utara yang diterima Komisi E DPRD Sumatera Utara. 2 September 2009 ratusan buruh WRP kembali turun ke jalan menuju DPRD Medan dan Konjen Malaysia. 7 September, kembali turun ke jalan mendatangi Walikota Medan dan DPRD Medan. 14 September 2009 aksi Ke DPRD Medan dan DPRD Sumatera Utara. 28 September 2009, aksi ke DPRD Sumatera Utara. 12 Oktober 2009, aksi ke Jamsostek. 5 Oktober 2009, aksi lagi ke DPRD Sumatera Utara. 4 November 2009 sebanyak 7 orang diterima delegasi langsung dipimpin Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara, Brilian Moktar, Sekretaris Komisi E Patar Siburian, Disnaker Provinsi, Rapotan Tambunan. Hasil rekomendasi Komisi E DPRD Sumatera Utara akan serius menangani persoalan PHK buruh PT WRP. 21 November 2009 buruh ke DPRD Sumatera Utara untuk mengikuti rapat dengar pendapat yang difasilitasi Komisi E DPRD Sumatera Utara yang hadir Kadisnasosker, Tengku Irwansyah dengan anggota Jhony Sibuea, Robert Tambunan, Renta Tampubolon, Jhon Rumapea. Disnakertrans Sumatera Utara, Perwakilan Kapolda, Swarno. Komisi E DPRD Sumatera Utara, Dauta Sinurat. Perwakilan Pemko Medan, Polres KP3 Belawan, Robert Harianto, Doni Alexander, Pengusaha, Pardomuan. Perwakilan buruh sebanyak 8 orang. Hasilnya panggilan ke-3 untuk keenam penanam saham PT. WRP paling lama 27 Nopember 2009 dan langsung di-DPO-kan melalui Polda Sumut.
Pada 8 Desember 2009 ratusan buruh kembali melakukan aksi di Konjen Malaysia. Buruh meminta Konjen Malaysia memberikan sanksi kepada warga negaranya yang melakukan kejahatan ketenagakerjaan di Indonesia. 15 Desember buruh kembali ke Walikota, DPRDSU, Konjen Malaysia. Di DPRD Sumatera Utara diterima Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara, Brilian Moktar. Buruh PT. WRP mendesak surat rekomendasi hasil rapat dengar pendapat 21 Nopember 2009 lalu yang belum diserahkan kepada buruh. 22 Desember 2009 buruh kembali ke DPRD Sumatera Utara diterima Brilian Moktar dan menyerahkan surat rekomendasi ke Polda dan gubernur hasil rapat dengar pendapat 21 Nopember 2009 lalu yang tertahan di Sekwan.
Pada 5 Januari 2010, buruh kemvali ke DPRD Sumatera Utara sekalian mengikuti rapat dengar pendapat. Rapat dengar pendapat difasilitasi Komisi E DPRD Sumatera Utara, Wakil ketua DPRD Sumatera Utara Sigit Pramono dari Fraksi PKS, Kadisosnaker Medan. Kadisnakertrans Sumatera Utara, Departemen Perindustrian Medan, Komisi A, Komisi B, Konjen Malaysia, Polres KP3 Belawan, Poldasu, Walikota diwakili Dauta Sinurat, Pengusaha diwakili Pardomuan Manurung, dan 15 orang perwakilan dari buruh PT. WRP.
Puluhan mantan buruh PT WRP kembali melakukan unjukrasa di gedung DPRD Sumut, 4 Oktober 2009 menuntut DPRD Sumatera Utara segera membentuk Panitia khusus (Pansus) penyelesaian kasus PHK semena-mena dilakukan pengusaha. Penderitaan buruh PT. WRP sudah berlangsung setahun lebih dan tidak pernah kunjung selesai, meski telah dilaporkan kepada berbagai pihak mulai ke Disnaker, DPRD Sumatera Utara, Poldasu, Kantor Imigrasi bahkan sampai kepada Gubernur. Buruh menilai pengusaha PT. WRP sudah banyak melakukan pelanggaran. Di antaranya melakukan PHK secara sepihak terhadap ratusan buruh pada 12 Juni 2009. Mengganti pekerja di-PHK dengan pekerja outsourching dan buruh harian lepas, serta mempekerjakannya pada bagian-bagian vital produksi bertentangan dengan UU No.13 tentang Ketenagakerjaan. PT WRP mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin. 19 Agustus 2009 sempat tertangkap empat pekerja asal Malaysia di PT. WRP. Buruh juga meminta dibentuk pansus guna menyelesaikan persoalan terjadi di PT. WRP dan membayarkan pesangon dan hak normatif lainnya selama buruh di PHK sepihak.
Ketua Komisi E DPRD Sumut Brilian Mokhtar menyatakan, sudah menyampaikan persoalan buruh PT. WRP ke fraksi-fraksi agar segera dibentuk pansus. Pembentukan Pansus juga belum dilakukan, 10 November 2010 kembali mendatangi gedung DPRD Sumatera Utara mendesak segera mengeluarkan SK Pansus. Tuntutan agar DPRD Sumatera Utara segera membentuk pansus penyelesaian PHK semena-mena sudah berulangkali disampaikan, tapi belum ada jawaban maupun realisasinya.
Brilian Moktar menyatakan, persoalan buruh PT. WRP sudah menjadi perhatian serius segenap anggota dewan menindaklanjutinya dengan pembentukan pansus. Kegeraman Brilian melihat masalah buruh PT. WRP tidak kunjung selesai sampai mendesak aparat kepolisian dan Imigrasi menangkap pengusaha Lee Shong Hong beserta antek-anteknya yang masih bebas berkeliaran dan mengoperasikan perusahaan. Brilian menuding perusahaan mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin. Pada 19 Agustus 2009, empat di antara pekerja asal Malaysia itu sempat ditangkap, tetapi kemudian dilepas.
Brilian melalui DPRD Sumatera Utara segera merekomendasikan kepada pihak terkait untuk tidak memperpanjang izin operasional PT. WRP sebelum seluruh persoalan yang terjadi di perusahaan itu dapat diselesaikan. Pimpinan dewan untuk menyurati pengadilan guna meminta salinan surat keputusan perihal pengaduan buruh PT. WRP beserta nota banding ke Mahkamah Agung yang diajukan perusahaan.
Perjuangan buruh untuk dibentuk pansus tercapai. Pansus yang baru dibentuk DPRD Sumatera Utara berjanji memperjuangkan nasib sekitar 1.300-an buruh PT. WRP yang sebagian diantaranya telah ditelantarkan perusahaan selama satu tahun delapan bulan.
Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) PT. WRP DPRD Sumut Brilian Moktar berkunjung langsung ke perusahaan yang memproduksi sarung tangan itu di kawasan Belawan Medan, 20 Desember 2010. Perwakilan Manajemen PT. WRP Pardomuan Manurung menerima kunjungan Pansus DPRD Sumatera Utara. Kunjungan Pansus ke perusahaan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya seperti mendata aset-aset perusahaan dan status kepemilikan saham. Jadi kedatangan pansus untuk memperjuangkan nasib para buruh yang selama ini hak-hak mereka telah diabaikan perusahaan.
Dalam penyelesaian buruh PT. WRP, Brilian berharap kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak terutama polisi, Walikota Medan, dan dinas terkait dalam memperjuangkan nasib buruh.
Setelah dua tahun terkatung-katung, PT. WRP bersedia membayar hak-hak buruh.Kesediaan perusahaan dinyatakan secara tertulis kepada Pansus DPRD Sumatera Utara. Meski bersedia membayar, tapi PT. WRP minta pembayaran hak dilakukan secara mencicil.
Ketua Pansus PT WRP Brilian Moktar 6 Maret 2011mengapresiasi PT. WRP menyelesaikan semua kewajiban kepada buruh korban PHK. Ini mejadi titik terang bagi buruh PT. WRP yang telah berjuang selama dua tahun. Aksi buruh selama ini adalah untuk menuntut hak-hak normatif sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 03 Tahun 1996 yang disesuaikan dengan Kepmentakertrans No. KEP-150/MEN/ 2000 tanggal 20 Juni 2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian perusahaan.
Ada lima poin yang disampaikan PT. WRP. Akan membayar satu kali Kepmen dan pembayaran dicicil sebanyak tiga kali. PT. WRP minta pansus DPRD Sumatera Utara dan SKPD untuk menyelesaikan permasalahan ini. PT. WRP meminta pansus membantu rekening PT. WRP yang telah dibekukan pihak perpajakan karena tidak membayar pajak, surat juga menjelaskan ketidakhadiran Lee Shong Hong pemilik PT WRP yang tidak berani datang karena dikenai status DPO.
Brilian sudah menyampaikan surat PT. WRP. Para buruh yang dihubungi menyatakan menolak pembayaran hak yang dilakukan dengan cara mencicil. Buruh menginginkan uang pesangon dan lain-lain dibayarkan penuh dan tunai. Keinginan buruh menurut Brilian sangat wajar. Pansus PT. WRP juga menginginkan pembayaran hak-hak buruh dilakukan secara penuh tanpa cicilan dan selesai dalam satu bulan ini. Hanya dengan cara seperti ini persoalan PT WRP dapat segera selesai.
Sebelum PT. WRP mau melaksanakan kewajibannya, Pansus DPRD Sumatera Utara sempat mengultimatum. Pasalnya, setelah berkali-kali melakukan mediasi antara perusaha dan buruh, pihak PT. WRP tidak pernah serius menyelesaikan masalah.
Dalam pertemuan dengan PT WRP Februari silam, dengan nada tinggi Brilian mengatakan, kebobrokan PT. WRP sangat banyak. Seperti pemotongan tiga bulan upah buruh dari Jamsontek namun tidak disetor ke PT Jamsontek dan tidak adanya ijin operasional perusahaan milik pengusaha Malaysia itu.
“Kalian (WRP, red) mungkin bisa membeli oknum pemerintah dan oknum polisi tapi jangan anda coba- coba terhadap kami. Saat ini juga kami bisa merekomendasikan agar perusahaan ini ditutup,” ucapnya dengan nada tinggi dan kesal dengan pihak PT WRP, yang sudah 17 kali melakukan pertemuan tapi tidak ada jalan keluarnya.
Brilian juga kesal dalam pertemuan tersebut, pasalnya pemilik PT. WRP Lee Shong Hong tidak kunjung datang dalam setiap pertemuan. Pansus pun meminta pemerintah untuk memblokir seluruh rekening dan aset PT. WRP sebagi jaminan pembayaran hak buruh sebesar 8 miliar sebagaimana yang telah diputuskan pengadilan.
Pihak Imigrasi di Medan dinilai tidak memiliki itikad baik guna menyelesaikan PT. WPR menyusul diizinkannya seorang pekerja asal Malaysia yang dideportasi karena tidak punya izin untuk kembali masuk ke Indonesia.
“Imigrasi sama sekali tidak memiliki itikad baik. Tenaga asing yang telah dideportasi kembali izinkan masuk meski tidak punya IMTA (izin masuk tenaga kerja asing),” ujar Brilian rabu, 26 Januari 2011
Mr. Anantan yang sebelumnya telah dideportasi ternyata diizinkan masuk ke Indonesia dan kembali bekerja di PT. WRP, padahal yang bersangkutan tidak memiliki IMTA dan juga telah membuat perjanjian untuk tidak akan masuk lagi jika tidak memiliki izin.
“Hal ini membuktikan Imigrasi tidak punya itikad baik untuk menyelesaikan berbagai persoalan di perusahaan itu, terutama menyangkut pekerja asing,” ujarnya.
Brilian juga menyesalkan ketidakhadiran pihak Imigrasi Polonia dan Belawan yang diundang pansus untuk rapat. Pihak yang datang pada rapat Pansus dengan Disnakertrans Sumut, Dinsosnakar Medan, Disperindag Sumut, Polda Sumut dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD).
Rapat Polda Sumut telah mengeluarkan surat perintah penangkapan atas nama Mr. Lee Shong Hong warga asal Malaysia sekaligus pemilik saham terbesar PT. WRP. Informasi diperoleh dari Kasat IV/Tipiter Polda Sumut AKBP m. Butar-butar dan Kasie Korwas PPN Polda Sumut Kompol M. Sitorus yang hadir pada dalam rapat pansus.
Pada sore harinya, Rabu 26 Januari 2011 berangkat ke Jakarta untuk mendatangi Mabes Polri, Kementeria Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Tenaga Kerja dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mencari masukan. Setelah dari Jakarta, Pansus memanggil notaris pembuat akte perusahaan yang dinilai melanggar UU Penanaman modal, karena secara sepihak mengubah komposisi manajemen PT. WRP dan menempatkan warga Malaysia untuk seluruh posisi direksi.
Informasi yang diterima Brilian perusahaan telah mengalokasikan dana sebesar 47 ringgit Malaysia atau Rp. 130 juta untuk membayar pesangon. Hasil pertemuan perusahaan yang difasilitasi Konjen Malaysia pesangon akan dibayar pada 19 September 2011. Namun pihaknya tidak mengetahui alasan manajemen WRP tidak merealisasi janji tersebut meski jadwal yang dijanjikan telah tiba. Untuk meralisasikan pansus meminta Konjen Malaysia Noorlin Othman untuk terlibat lagi dengan mendesak warganya yang bertanggungjawab dalam masalah ketenegakerjaan di PT. WRP.
Jika dalam jangka waktu tertentu pesangon tidak diberikan, Pansus akan mendatangi pimpinan perusahaan ke Malaysia untuk merealisasikan pesangon bagi buruh yang diberhentikan. “Pansus tidak akan meninggalkan buruh dalam memperjuangkan haknya,” katanya.
Puluhan buruh PT. WRP kembali mendatangi kantor Imigrasi Blewan, tempat Nadarajah Swaminathan (50) ditahan dalam kasus penyalahgunaan visa kunjungan, Senin 24 Oktober 2011. Kedatangan buruh untuk meminta kepastian pembayaran pengasong tahan III sebanyak 329 orang yang belum dipenuhi sesuai janji.
Ketua DPC FSBI Kikes Kota Medan, Usaha Tarigan selaku kuasa para buruh menyesalkan sikap Rajan yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan pemilik perusahaan tidak dapat menyelesaikan pembayaran pesangon. Padahal kesepakatan pembayaran telah ditentukan sebelumnya, bahkan untuk mengawasi pembayaran DPRD Sumatera Utara telah membentuk pansus.
Kepala Kantor Imigrasi (Kakanin) Belawan Sunardi SH mengatakan, penahanan pria yang dikenal dengan nama Rajan dilakukan sejak Sabtu 22 Oktober 2011. Dari hasil pemeriksaan pihak Imigrasi Belawan, Rajen yang menggunkan Aspor No. A20462374 dengan bisa B211 selama 30 hari di Polonia Medan telah melanggar pasal 122 UU Keimigrasian No.6/2011 dengan ancaman kurangan 5 tahun denda sebesar Rp. 500 juta. Alasannya meski punya visa namun dia tidak memiliki izin kerja dari Disnaker. Selain itu juga terkait permasalahan ingkar janji pembayaran sisa pesangon dengan ratusan buruh WRP.
Dijelaskan Vina, bahwa untuk pesangon mantan buruh yang berjumlah 383 sudah dibayar 2 tahap, sedangkan untuk tahap 3 belum dilunasi dan telah molor dari jadwal yang disepakati bersama Pansus DPRD pada akhir September 2011.
Pihak Tim Pansus juga menyatakan rasa kecewa atas isu keterlambatan pembayaran pesangon karena adanya tudingan oknum Pansus yang meminta sejumlah yang kepada WRP.
“Kami difitnah, padahal kami telah memperjuangkang kasus ini sejak 2009 tanpa pamrih.” Kata brilian yang bertekad membawa permasalahan ini ke ranah hukum.
Setelah bertemu dengan Mr. Rajan, Brilian sempat berdebat dan mempertanyakan alasan tidak membayar pesangon untuk mantan buruh yang di PHK meski pemilik perusahaan Mr. Lee telah menyiapkan dananya.
Bahkan di depan puluhan mantan buruh PT. WRP Brilian memaki Mr. Rajan karena menuduh Pansus yang dibentuk DPRD Sumatera Utara meminta uang sehingga pembayaran pesangon ditunda.
“Coba kau sebutkan, siapa anggota Pansus yang meminta uang. Surat sudah kami keluarkan kok. Lalu, apa hubungannya,” kata Brilian di depan Kasat Intel Polresta KP3 Belawan AKP B. Pasaribu.
Mr. Jaran merupakan otak yang mengggalkan pembayaran pesangon bagi buruh yang di PHK. Penggalan itu dapat terlihat dari email yang dikirim Mr. Rajan kepada perwakilan buruh yang mempertanyakan kepastian pembayaran pesangon tersebut. Malah ketika menerima telepon dari perwakilan buruh, Mr. Rajan menyebutkan pihaknya belum dapat memberikan pesangon bagi mantan buruh karena Pansus PT. WRP yang dibentuk DPRD Sumatera Utara justru meminta dari perusahaan. Penyataan Mr. Rajan didengar puluhan mantan buruh WRP karena teleponnya menggunakan speakerpone. Banyak mantan buruh PT. WRP yang sempat merasa tidak simpati dengan Pansus. Mr Rajan sempat membantah tuduhan itu. Tetapi Mr. Rajan tidak dapat mengelak karena puluhan mantan buruh PT. WRP membenarkan adanya tuduhan kepada Pansus.
Brilian menyebutkan bila PT. WRP tidak dapat memenuhi janjinya membayar pesangon korban PHK, Pansus akan mengusulkan kepada pengadilan agar perusahaan dinyatakan valid dan harus dilelang agar dapat membayar uang pesangon.
Pencemaran Lingkungan
Tidak hanya membayar uang jasa ratusan buruh PT. WRP, Brilian juga menuding perusahaan juga melakukan pencemaran lingkungan. Brilian menemukan sebuah lubang permenan dan hanya ditutup seng pada IPAL perusahaan. Setelah seng dibuka dari lubang keluar abu (limbah pabrik), artinya perusahaan tidak melakukan pengolahan limbah yang sebenarnya. Pada buku rancangan IPAL tertulis sebagai penanggungjawabnya adalah Harianja. Namun setelah Poldasu mengkonfirmasi ternyata yang bersangkutan tidak mengetahui namanya dicantumkan sebagai penanggungjawab.
Hasi pertemuan Brilian dengan Kasat IV Tipiter Ditreskrim Poldasu AKBP Butar-butar mengakui banyak pelanggaran yuang dilakukan PT. WRP. Pelaksana Harian Bidang Humas Poldasu, AKBP MP Nainggolan mengungkapkan jika terbukti melakukan pencemaran lingkungan, pemilik PT. WRP bisa dipidana pasal 98 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup.
Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Baharuddin MSi mengegaskan Poldasu membentuk tim yang telah turun ke lapangan guna mengumpulkan bukti-bukti yang cukup. Tim yang turun masih menunggu koordinasi dengan pihak terkait diantaranya Bapeldada yang menangani kasus Amdil. Selain tim Amdal, Poldasu juga bekerjasama dengan DPRD dan tim lainnya. Tim akan menghasilkan rumusan benar atau tidaknya dotemukan pencemaran.